Yang Didapat dari 10 Hari di Bali

Bulan lalu gue pergi ke Bali bareng mama.

Punya jarak umur yang cukup jauh, lahir di generasi yang berbeda jelas membuat gue dan mama punya cara berpikir dan cara pandang yang berbeda.

Sedari SMP gue sudah ngekos untuk sekolah di kota dan tinggal di atap yang berbeda dengan mama, sehingga wajar rasanya kalau gue tumbuh besar tanpa meng-copy 100% apa yang diajarkannya. Ada ajaran mama yang gue pegang, tapi ada juga yang gue lepas.

My mom is the kind of woman who can do everything by herself, with her own hands. Sedangkan gue yang sudah mendapat berbagai macam kemudahan dan kepraktisan hidup sedari kecil, selalu mencari cara yang lebih praktis untuk “mengakali” hidup.

Mama suka memasak saat ada waktu lowong. Gue melihat memasak itu merepotkan. Pesan antar pun bisa.

Mama suka belanja dengan mengunjungi toko langsung. Gue melihat perjalanan dari rumah ke toko, belum kalau kena macet, dan cari parkir itu buang-buang waktu dan merepotkan. Online shopping saja pun bisa.

Mama bisa telepon dengan saudara-saudaranya sehari tiga kali. Gue melihat interaksi telepon yang terlalu sering itu bikin risih. Update singkat via teks pun bisa.

Apa yang menurut mama bagus, bisa jadi menurut gue biasa aja, and vice versa.

As a mother, she’s not perfect. As a daughter, I’m far from perfect. Masing-masing dari kami punya kekurangan dan kelebihan. Nggak sekali dua kali kami beradu argumen dan sama-sama menunjukkan sisi keras kepala. But I know she tried her best. And I know, I need to show my gratitude toward her whenever I can.

So, last month I took my mom to Bali. Setelah gue ingat-ingat, kami memang nggak pernah pergi liburan berdua saja. Kalau pergi ya pasti bareng anggota keluarga yang lain, atau ikut tur yang pesertanya kayak bawa satu RT. This time is an exception. Mother-daughter only.

Keinginan trip berdua ini sebenarnya sudah gue tulis di bullet journal yang set up-nya bahkan dibikin dari November 2021.

Nomor satu di bucket list gue untuk 2022 ini: Bali trip with mom. Ke Bali bareng mama.

Dengan menulis dan melihatnya setiap kali buka bullet journal, gue seperti mendeklarasi kalau trip ini bakal dilakukan. Bukan cuma sekadar keinginan, tapi gue jadi serius menyiapkannya. Gue tipe orang yang merasa penting untuk tahu secara spesifik apa yang gue mau supaya otak dan effort gue sejalan buat mewujudkannya. The act of writing “Bali trip with mom” got me ready to make it happen.

Destinasi Bali gue pilih karena di sana kami bisa mendapat berbagai macam pengalaman berlibur. Mau icip tempat yang ramai ada, mau yang sepi banget ya juga ada. Mau icip menclak-menclok cafe sepanjang jalan bisa, mau leyeh-leyeh di hotel seharian juga bisa. Tapi alasan utamanya lebih karena gue mau ajak mama pergi ke destinasi di Indonesia, membawanya ke tempat yang bisa memunculkan obrolan atau interaksi dengan orang-orang yang bahasanya sama. My mom’s an extrovert. She’s the opposite of me. Dia butuh berinteraksi dengan manusia lain. Mama bisa tuh asyik ngobrol dengan taxi driver sepanjang perjalanan kami ke sana ke mari, mama juga bisa bercakap-cakap santai dengan pemilik kedai kopi. Small talks like those came out of her naturally. Sedangkan gue perlu effort besar supaya bisa begitu (yang berujung low bat pula sesudahnya).

Sepuluh hari berdua bareng mama di Bali sungguh unik. Unik karena kami berdua terus bersama. Beda cerita seperti saat gue mudik dan pulang ke rumah orang tua, karena dari sekian hari itu kan 24 jam dalam satu hari gue sebar untuk beberapa orang (dan kocheng) sekaligus. Nah kalau ini, 10 hari berdua bareng mama saja.

Ada kebiasaan yang semakin kelihatan dari kami masing-masing. Semakin jelas pula, walau kami adalah sepasang ibu dan anak, kami juga punya banyak perbedaan. Kadang perbedaan ini memberi dinamika yang seru untuk hubungan kami, tapi terkadang juga membuat sumbu yang dari sananya sudah pendek jadi terasa semakin pendek. Kalau mama ditanya, mungkin dia pun akan menjawab hal yang sama, sehingga bukannya terlihat beda, justru malah kelihatan kalau kami memiliki kemiripan.

Kalau sekarang dilihat lagi, malah lucu jadinya. Kami berdua punya standar masing-masing. Yang dipunya oleh yang satu, bisa berbeda cukup jauh dengan yang lain. Standar apa? Apa pun. Standar kebersihan, standar berpakaian, standar menggunakan uang, standar makanan, standar berkomunikasi dengan orang lain, sampai standar kehati-hatian di jalan juga bisa jadi persoalan. Ya oke, kalau yang terakhir itu gue tepatnya yang mempersoalkan. Maju terus pantang mundur sampai standar gue yang diikuti.

Waktu di Ubud, gue ajak mama jalan kaki dari hotel menuju resto untuk makan siang. Trotoar di Ubud (nggak cuma di Ubud, banyak tempat di Indonesia) kan nggak sebagus trotoar Singapura ya. Nggak rata, ada yang pecah, naik turun, ada juga yang ketambahan ranting-ranting atau akar pohon yang tembus sampai memakan sebagian trotoar. Mama dengan santainya bisa jalan sambil lihat kiri-kanan, sementara gue udah kayak toa: "MA, KALO JALAN LIHAT KE BAWAH DULU DONG.”

Buat gue, kalau jalan kaki, lihat dan scan dulu jalan yang bakal ditapak sampai sejauh mata bisa memandang. Kalau memang nggak rata, ya jalan sambil lihat ke bawah. Nggak perlu pusingin kanan kiri ada apa, itu bisa dilihat belakangan atau nanti pas jalan balik ke hotel. Sementara buat mama: Sambil jalan, ya mau tahu dong di kiri dan kanan jalan ada apa aja. Ya bisa dipahami karena ini memang area yang jarang dikunjunginya. Cuma tetap ya, gue nggak bisa nggak heran saat melihat dengan mata kepala sendiri: Mau mengundang jatuh kesandung trotoar atau gimana sih ini konsep jalan kaki emak gue?

Trotoar yang bikin sumbu gue makin pendek :))

Sure I had some gemes moments with my mom. And I bet she had some as well. But this trip also slapped me right in the face.

Here’s the thing. I know my mom’s already in her lansia stage. But this time, I came to the full realization that my mom is not able to do things we used to do. At first, a part of me felt this huge disbelief. A denial maybe. I event texted my brother. How come mom said she’s tired for walking under 15 minutes? Come on, walking is good for our health. At that time, I put my high expectation on her. I thought she can do better than that.

But then, on a different time, I saw her face and found that she’s also disappointed with her own physical condition. I can see she’s a bit frustrated to feel the discomfort; and that feeling comes from her own body. That’s when the realization washed over me. We’re changing physically. It’s inevitable. Our bodies now are different from our bodies ten years ago. I noticed my mom’s getting older, and more tired easily. I had to admit that this is the fact I refused to acknowledge these past few years.

Well… There you go, I told myself. You’re old, and mom is obviously older. You have to accept there are activities that she can no longer do. You cannot stop someone from aging.

No one wishes her/his body to ache. No one wishes to feel tired after 10 minutes of walking. That realization changed my perspective and made me to accept my mom for who she is fully.

At the end of this trip, I’m grateful that my mom said yes, and went to Bali with me. We stayed at a weird hotel (that one sucks), but we also stayed at one of the best resorts in Bali (100/100). We ate a very dry salad (ugh), but we also ate a delicious salad (yum). We tried pork ribs from three well-known places in Bali, created a quick evaluation and ranked the best to the worst (Masterchef judges wannabes, I know). We reminded each other to take multivitamins and cholesterol medicine because we consumed pork almost everyday (oops). We visited different coffee shops, tried their lattes, compared the taste, ambiance, and friendliness of the staffs (important factors, right). We had our journaling session, talked about stationery, and exchanged stories. We also took a lot of photos to capture our moments :).

I’m glad we went to Bali. Just the two of us. It’s my small token of appreciation for her, even though no matter how many trips we can do, I can not possibly repay my mom. I just wanted her to know that I’m thankful to have her as my mom.

Despite our differences, she’s my rock. Her presence alone gives me courage. I can tap into my fearless mode and able to make big life decisions without self-doubting myself because of her. Life feels so easy because I know she’s there for me. My steps feel lighter because she’s wishing the best for me.

At this age, I know my time is limited. My time with my mom is also limited. I’ll never know who’s going to leave first. All I can do is just actively make efforts to create memories with her. All the bad, all the good; and hopefully I can make more of the latter.

Love you, Ma <3.