Mau Journaling, Pakai Satu atau Beberapa Buku Sekaligus Sih?

perlu berapa buku catatan?

Menjelang pergantian tahun, daripada ngerasa “yah, kok tahun ini udahan”, yang lebih dominan gue rasa justru semangat ingin segera menyambut tahun yang baru. Tentu saja sesuai judul tulisan ini, salah satu semangat yang gue rasa adalah ingin memulai journaling dengan buku yang baru juga.

Merasa seru dan semangat begitu ternyata memang wajar, dan gue jadi makin tervalidasi tentang ini setelah baca When, yang ditulis oleh Daniel H. Pink. Jelas kenapa setiap mau tahun baru, berkobar-kobar banget semangat gue nulis di notebook baru. Meet “temporal landmark”, a term that you might want to know.

Temporal Landmark

Di When, Daniel H. Pink mengenalkan istilah “temporal landmark” yang dirumuskan oleh para social scientist untuk menjelaskan hari pertama di tahun baru. Mirip seperti penanda/petunjuk yang kita gunakan untuk menavigasi jalan (lo cari dulu toko yang pintunya warna kuning di depan sana, kalau udah ketemu nah belok kiri begitu lewat situ), temporal landmark inil jugalah yang dipakai manusia sebagai petunjuk untuk menavigasi waktunya.

Mulai tahun baru ini gue mau coba ….
Start tahun depan gue mau daftar ….
Bulan Januari gue mau belajar ….

Mulai tahun depan gue mau rutin journaling.
Start tahun depan gue mau coba nulis jurnal satu halaman tiap pagi.
Bulan Januari nanti gue mau biasain abis baca buku nulis catatannya di jurnal.

Temporal landmark terasa spesial karena efek fresh start-nya memberi kita kesempatan yang baru. Dan di saat yang bersamaan, kita juga bisa memanfaatkan momentum ini untuk disconnect dari versi diri yang lama, yang kalau terus-terusan dipikirin kurangnya dan dosanya ya nggak bakal ada habisnya.

Blog post ini dibuka dengan mengenal temporal landmark supaya kita sama-sama tahu kalau dampaknya memang besar, dan sebenarnya justru perlu dimanfaatkan supaya tahun baru yang datangnya cuma sekali setahun ini nggak berlalu begitu aja. Tapi, kembali lagi ke pertanyaan utama yang jadi judul tulisan ini, kalau mau journaling, pakai satu atau beberapa buku?

Walaupun journaling udah jadi lifestyle dan kebutuhan gue, untuk menjawab pertanyaan tentang jumlah buku yang dipakai ini justru menurut gue penting untuk ambil jarak dulu, pause dulu. Jangan buru-buru

2018 Me Vs 2022 Me

Gue pernah pakai satu buku untuk semuanya. Gue pernah juga pakai beberapa buku dan nggak ada yang maksimal dipakai. Gue pernah juga ikut-ikutan pakai notebook yang dipakai content creator yang di-follow di Instagram, terlihat bagus, dan memang bagus sih notebook-nya, tapi pas gue pakai: aduh, bukan kriteria gue nih sebenarnya (lalu berujung cuma dipakai satu atau dua kali dalam setahun).

Kondisi gue di tahun 2018 berbeda dengan gue di tahun 2020. Gue di tahun 2021, juga beda gue di tahun 2022. Kebutuhan gue di tahun depan, bisa aja beda dengan kebutuhan gue di tahun ini.

My point is I will change. I won’t stay in the same condition for the rest of my life. Gue pasti berubah. Situasi hidup gue berubah, kondisi gue berubah, tanggung jawab gue berubah, yang berarti kebutuhan, kebiasaan dan gaya hidup gue juga bisa berubah.

Griss versi 2020, yang mengelu-elukan pakai satu buku aja biar praktis, jelas nggak bakal sependapat dengan Griss yang tahun ini rutin pakai tiga buku hampir setiap hari, and vice versa.

Jadi, gimana caranya menentukan berapa banyak buku yang diperlukan untuk journaling?

Faktor-Faktor yang Bisa Dipertimbangkan

  1. Tentukan fungsi buku yang mau dipakai

    Penting untuk dipikir dan dijawab sebelum keasyikan belanja dan pilih notebook ini itu. Buku yang mau dibeli akan dipakai untuk apa?

    Karena kalau terburu-buru beli beberapa buku sekaligus, tapi nggak tahu fungsi apa yang mau di-assign ke tiap bukunya, ujung-ujungnya mereka bisa tergeletak begitu aja.

    Lalu sekarang pertanyaannya diperdalam lagi, gimana cara tahu fungsi apa aja yang dibutuhkan? Katanya journaling kan bisa buat macam-macam.

    Tiap orang bakal beda-beda, tapi coba deh berangkat dari keresahan atau keinginan yang dipunya.

    Misalnya, gue merasa banyak banget yang perlu dipikirin dan diurus sehari-hari sampai kadang jadi overwhelmed sendiri. Oke, gue butuh jurnal yang bisa jadi tempat gue untuk meluapkan semuanya. Itu satu fungsi.

    Gue juga mau punya satu jurnal yang bisa menampung catatan dan komentar saat gue baca buku, biar nanti kalau gue mau cari informasi tertentu dari yang udah gue baca, gue tinggal buka itu aja. Oke, gue mau punya reading journal juga. Itu satu fungsi yang berbeda lagi.

    Lo bisa aja pengin satu buku yang isinya hanya dipenuhi gratitude misalnya. Nggak mau nulis kejadian atau emosi negatif sama sekali di dalamnya (ada yang maunya begitu dan nggak apa-apa). Ya bisa aja lo menyematkan fungsi gratitude journal ke buku yang dipunya.

    Jadi, kalau masih bingung, coba mulai brainstorm dari sini: Apa aja keresahan dan keinginan gue sekarang?

  2. kebiasaan menulis

    Faktor lain yang perlu dilibatkan adalah kebiasaan menulis yang sekarang lo punya. Apakah udah terbiasa menulis tangan setiap harinya? Atau baru mau mulai coba?

    Nggak apa-apa kalau memilih untuk pakai notebook dalam jumlah yang sedikit. Kalau nanti ternyata kurang, kan tinggal beli buku lagi. No big deal. Be flexible.

    Meminimalisir jumlah notebook yang dipakai ini erat juga kaitannya dengan motivasi menulis. Karena kalau nggak sadar, aktivitas nulis jurnal yang seharusnya melegakan dan menyenangkan bisa jadi sarang rasa bersalah. Guilt trap ini sering muncul saat melihat halaman buku yang nggak terisi. Rasa bersalah yang sebenarnya nggak penting ini bisa makin menjadi-jadi kalau lo belum menemukan ritme nulis, tapi udah disajikan dengan pemandangan jumlah notebook yang banyak, dan “bolong-bolong” pula. Buat bahas rasa bersalah ini malah kayaknya bisa jadi satu blog post terpisah. Itu nanti gue susulkan ya.

    Kalau belum terbiasa menulis, nggak apa-apa mulai dengan satu atau dua buku dulu. Sambil jalan, sambil membangun kebiasaan menulis jurnalnya.

  3. Hati-hati dengan bias

    Menentukan pilihan sendiri memang nggak gampang, dan kadang butuh waktu lama sampai bisa mengerecutkan pilihan. Nggak heran kalau kita (oke, gue seenggaknya) juga ikut-ikutan apa kata orang banyak. Paling nyata ya saat lihat banyak akun Instagram atau channel YouTube yang pakai merek notebook tertentu, dan mereka semua mengatakan bagus, sehingga gue jadi mengadopsi “belief” itu juga. Oh, notebook merek A bagus tuh ya, gue beli ah.

    That’s called bandwagon effect.

    Perlu diingat dan disadari, apa yang cocok untuk orang lain, belum tentu cocok untuk kita. Jangan asal copy paste apa yang dipakai orang lain (termasuk ngikutin notebook line-up gue) dengan harapan pasti match dengan kondisi dan kebutuhan lo.

    Apa yang populer, belum tentu cocok buat lo.

    Notebook yang populer, belum tentu sesuai dengan kriteri buku catatan yang lo mau.

    We have to do our own research. We have to ask ourselves first. Eksplor opsi yang ada, disesuaikan dengan budget masing-masing tentunya.

Jadi, pertanyaan “kalau mau journaling, pakai satu atau beberapa buku sekaligus” ini akan gue balikkin lagi ke yang baca dan yang nanya. Silakan ambil waktu dan bikin brainstorm session dengan diri sendiri untuk mempertimbangkan beberapa faktor yang udah disebut di atas. Hope this blog post helps :)


P.S. Bulan depan, gue buka “Les Journaling Bareng Griss” yang ditujukan supaya peserta yang ikut bisa mulai journaling dengan panduan dan framework dari materi sekaligus journaling prompts yang sudah gue siapkan. Tiap sesinya dirancang dengan tema khusus supaya sesi menulis jurnal bisa lebih fokus. Klik link ini untuk mendaftar ya :)