Sintia: Membaca Puisi Sekaligus Menambah Wawasan

Setiap kali melihat buku puisi, otak saya langsung teringat Sintia. Somehow, buat saya (dan mungkin beberapa pembaca lain), image Sintia lekat dengan buku puisi.

Saya bukan pembaca yang gemar mencari dan membaca buku puisi. Namun, kadang ya penasaran juga. Ada beberapa judul yang menggugah rasa ingin tahu, ada juga yang potongan puisinya lewat bolak-balik di media sosial sampai saya ngeh oh ada toh buku puisi X yang ditulis oleh Y. Atau, oh, sekarang ada toh gaya puisi yang seperti mini cerpen.

Sejujurnya, membaca buku puisi itu cukup mengintimidasi, karena beberapa kali ketemu puisi yang walau sudah dibaca berkali-kali pun saya nggak menemukan apa maksudnya. Seorang teman pernah mengatakan, coba Griss, bacanya pakai perasaan. Sudah coba, tapi tetap nggak paham. Hahaha.

Kadang ingin loh bisa mudeng saat baca puisi. Ini maksudnya apa, atau benar nggak kalau saya menyimpulkan begini. Tapi ya nyatanya kalau ada yang sudah baca buku puisi dari A sampai Z dan suka dengan berbagai buku puisi yang dibaca, saya mungkin baru mentok di C sambil kebingungan.

Bisa jadi poetry is not my cup of tea. Tapi bisa jadi juga belum ketemu puisi yang cocok. Makanya saya masih penasaran. Makanya saya salut bukan main dengan Sintia yang menemukan kenikmatan dari membaca beragam buku puisi. Jadi ingin tanya, apa yang bikin Sintia suka dengan puisi? Gimana cara Sintia baca puisi?

***

Sejak kapan suka baca Puisi?

“Gue suka puisi dari SD. Dulu sukanya tuh puisi-puisi yang temanya pahlawan karena di sekolah belajarnya tema-tema seperti itu kan. Ternyata saat dicoba, gue juga suka nulisnya. Bahkan dulu gue tuh suka banget ngirim puisi ke Tabloid Gaul, dan sampai pernah dapat wesel hadiah uang dari itu.”

Apa daya tarik puisi yang bikin bentuk tulisan seperti ini spesial?

“Selain kata-katanya memang indah, puisi juga pendek. Kalau lagi susah baca novel atau cerpen yang jelas lebih panjang, gue tuh selalu balik ke puisi. Lebih cepat habis. Makin ke sini, di tengah kesibukan kerja dan lainnya, saat gue susah nemuin waktu buat baca cerita atau buku yang lebih tebal, puisi selalu bisa jadi pelarian.”

Gimana cara Sintia baca puisi?

“Yang pertama gue cari itu maknanya. Gue akan cari tahu, penulis ini berusaha menyampaikan apa sih? Gue nangkepnya kayak gini, tapi apakah penulis juga ingin menyampaikan pesan itu?

Ketika gue berusaha mencari makna dari puisi, gue juga suka memperhatiin kata-kata apa sih yang penulisnya pakai?

Pasti deh, dalam proses membaca gue sering terkesima. Kok kepikiran aja ya pakai kata ini untuk puisi?

Jadi selain gue membaca puisi, gue pun belajar kosakata baru.

Kalau ketemu yang seperti itu, biasanya gue langsung googling untuk cari tahu artinya.

Contohnya seperti waktu gue baca buku puisinya Theoresia Rumthe yang Selamat Datang, Bulan. Di situ Kak Theo memasukkan unsur-unsur tanah kelahirannya. Setelah dicari tahu beberapa arti katanya dan gue baca ulang, maknanya terasa beda.”

Beberapa buku puisi dari penulis Indonesia

Beberapa buku puisi dari penulis Indonesia

Lebih suka puisi zaman dulu atau yang sekarang?

“Gue suka dengan poisi sekarang yang lebih modern, karena nggak kaku lagi. Nggak lagi mengikuti kaidah yang saklek seperti puisi harus satu bait isinya empat baris, dan rimanya harus a-b-a-b. Gue lebih suka yang free verse karena rasanya karya sastra memang sebebas itu zaman sekarang. Dan karena bebas, para penyair bisa lebih berkreasi dalam merangkai kata-kata.

Well, itu tergantung kondisi juga sih, karena ada puisi haiku dari Jepang yang ada aturannya tersendiri. Model puisi seperti haiku mungkin bisa kasih tantangan tersendiri ketika dibuat.

Buat gue pribadi, gue lebih suka puisi zaman sekarang tidak terkotak-kotakkan. Terasa loh, penulis punya kebebasan untuk berekspresi dan mengungkapkan apa yang ada di kepalanya. Merangkai kata-kata bisa terwujud sampai seekspresif itu, dan itu juga nambah wawasan gue sebagai pembaca.”

Tips menulis resensi buku puisi

“Kalau gue bikin review buku puisi, gue pasti lari ke Goodreads atau blog orang yang pernah review buku puisi itu. Gue pengen tau perspektif mereka setelah membaca buku puisi itu: feeling mereka gimana? Apakah mereka dapat pesannya? Apakah sebagai sesama pembaca kita menemukan makna yang sama atau nggak? Review atau pendapat orang lain itu jadi memperkaya perspektif gue akan puisi tersebut.”

Buat yang sering merasa buku puisi itu susah (baca: saya), apa aja buku puisi yang direkomendasikan?

“Coba cari buku puisi yang pendek-pendek, dan ringan. Puisi Beni Satryo yang judulnya Antakota AntarPuisi bisa jadi salah satu buku puisi buat dibaca. Dia memakai pilihan kata yang sehari-hari banget, sampai masukkin nama merek tertentu. Zaman dulu jarang kan yang begitu. Puisinya juga pendek-pendek, dan jenaka.

Kalau misal nggak ngerti, coba discuss dengan orang lain. Cari review orang lain.

Gue juga suka dengan puisinya Theoresia Rumthe. Pertama kali kan dia ngeluarin buku puisi bareng sama Weslly Johannes, tapi gue malah suka mereka nulis puisi sendiri-sendiri karena rasanya lebih powerful. Di Selamat Datang, Bulan, Kak Theo mengulas isu tentang perempuan. Gue suka banget sih karena banyak unsur-unsur sosial juga. Dan itu dikemas dalam bentuk puisi yang menurut gue keren banget. Lo nggak perlu baca artikel panjang, tapi lo dapet maknanya dari satu bait pendek.”

Kalau ketemu puisi yang nggak dipahami, apa yang biasanya dilakukan?

“Karena puisi sudah sebebas sekarang, ada yang mudah dimengerti, ada juga kok yang gue nggak ngerti sama sekali.

Kalau nggak ngerti, biasanya akan gue baca ulang sih. Karena mungkin ketika pertama kali baca puisi tersebut, gue lagi nggak mood, atau fokus lagi nggak ke situ. Gue coba baca lagi di lain waktu, gue baca pelan-pelan.

Gue coba artikan baris per baris, atau bait per bait. Gue coba temukan maknanya, kalau memang nggak ketemu ya udah, kadang gue lewatin aja, dan move on ke puisi lainnya.”

Rekomendasi buku puisi lainnya dari Sintia yang bisa dicoba untuk pemula

Penulis Indonesia:

  • Tidak Ada New York Hari Ini (M Aan Mansyur)

  • Ibu Mendulang Anak Berlari (Cyntha Hariadi)

  • Perjamuan Khong Guan (Joko Pinurbo)

Penulis luar:

  • Love (Lang Leav).

  • Dirty Pretty Things (Michael Faudet).

  • Milk and Honey (Rupi Kaur).


Dari rekomendasi Sintia, saya jadi penasaran ingin icip Beni Satryo, Lang Leav (yang juga disukai teman saya lainnya), serta baca buku Rupi Kaur yang sebenarnya sudah duduk manis di Kindle tapi belum tersentuh juga. Buat pembaca yang jarang bertemu buku puisi, sepertinya karya mereka lebih ramah untuk dicerna otak dan hati. Tentunya ingin juga baca lagi karya Joko Pinurbo, dan memburu buku puisi Cyntha Hariadi yang sekarang kok seperti barang langka karena di toko penerbitnya malah nggak ada. Gramedia, restock please.

Mendengar apa yang Sintia lakukan saat membaca puisi juga bikin saya ingin coba langsung saat ketemu puisi-puisi yang terasa susah. Kalau biasanya saya tutup saja bukunya dan tidak dibuka lagi, nanti akan coba untuk memberi jarak dan membacanya ulang; memperhatikan pemilihan kata, melihat bait per bait, atau bahkan baris per baris seperti Sintia.

Nggak pernah terpikir sebelumnya, kalau puisi juga bisa jadi pintu untuk belajar. Belajar kosakata baru, sekaligus mendekatkan diri dengan isu-isu yang sebenarnya ada.

Thank you, Sin, buat sharing, tips, dan rekomendasinya! Semoga teman-teman yang juga punya pengalaman serupa bisa ketemu buku puisi yang cocok, ya!


Tulisan dan karya Sintia bisa ditemukan di: