Rekap Fiksi: Potret Keluarga dan Kokokan Mencari Arumbawangi

Potret Keluarga & Kokokan Mencari Arumbawangi (1).jpg

Saat saya lihat-lihat lagi, buku fiksi yang muncul di blog ini baru ada Kim Ji-yeong, Born 1982 saja. Begitu sadar hanya menaruh resensi buku fiksi di Instagram, saya langsung mbatin: Oke, ini tantangan baru agar saat 2021 selesai, setidaknya ada enam blog post tentang buku fiksi lagi yang muncul di sini. Begitu banyak buku fiksi bagus, saya pasti bisa memilih satu-dua tiap bulannya.

Untuk mengawalinya, saya ingin memperkenalkan dua buku fiksi yang masih fresh alias belum lama ini selesai dibaca: Potret Keluarga dan Kokokan Mencari Arumbawangi.

Keduanya sama-sama ditulis oleh penulis Indonesia, keduanya sama-sama ditulis oleh perempuan, tapi keduanya berbeda.

Potret Keluarga adalah kumpulan 16 cerpen Reda Gaudiamo yang sebagian di antaranya pernah terbit di media cetak pada tahun 90-an, sedangkan Kokokan Mencari Arumbawangi adalah dongeng karya Cyntha Hariadi yang menyoroti kehidupan dua anak kecil dan ibunya di suatu desa di Bali.

Pengalaman membaca kedua buku fiksi ini berbeda. Saat membaca Potret Keluarga, perasaan saya dibuat naik turun seperti lagi naik wahana di taman bermain. Ada yang terasa lucu, ada yang bikin pedih, ada yang terasa seperti pengingat/tamparan, ada yang bikin nostalgia. Ada juga yang bikin terhahehoh saking nggak menyangka akan dikasih plot twist seperti itu.

Saat membaca Kokokan Mencari Arumbawangi, saya seperti tersedot penuh ke dalam ceritanya. Seakan jadi supporter yang duduk di tribun menonton klub kesayangannya bertanding, atensi saya saat membaca dongeng ini pun begitu. Fokus, nggak ingin dibagi dengan yang lain. Pokoknya saya mau menemani, menonton, dan melihat apa yang terjadi dengan karakter-karakter di dalam cerita ini sampai selesai.

Potret Keluarga, seperti judul bukunya, banyak menyoroti tentang cerita-cerita yang terjadi di keluarga. Rasanya dekat, karena keluarga ya seperti itu adanya. Kalau kata Mba Reda, “Sempurna itu hampir tidak ada.” Kadang manis, kadang pahit. Kadang sayang, kadang jengkel. Bangga dan kecewa bisa bergantian datangnya.

Saat diobrolkan bersama para pembaca lain di KEBAB Reading Club hari ini, banyak pembaca yang mengapresiasi cerita-cerita yang Mba Reda buat. Tentu kami bisa bias karena memang nge-fans dengan tulisan beliau, tapi saat mendengar langsung ada beberapa pembaca yang menemukan representasi hidup mereka dari cerita yang ada di buku ini, saya jadi ikut terharu. Setidaknya, lewat cerita ini mereka bisa bernostalgia dan nggak merasa sendiri.

Kokokan Mencari Arumbawangi juga membawa haru, tapi dengan rasa yang berbeda. Dongeng ini menggambarkan realita kehidupan warga desa yang berbenturan dengan kepentingan lain (baca: kepentingan pemimpin dan kepentingan yang berduit). Saya melihat bagaimana seseorang mencintai tanahnya, yakin dengan tanahnya, dan berjuang untuk mempertahankan tanahnya. Di Instagram, saya juga bilang kalau buku ini gado-gado; banyak isinya, tapi enak rasanya.

Saya menikmati duduk sebagai pendukung karakter-karakter utama yang diwakili dengan anak berumur 10 dan 12 tahun. Hubungan kakak dan adik, kepolosan, sampai “kekuatan” mereka mampu menghipnotis saya hingga ceritanya dituntaskan hanya dalam sekali duduk.

Kedua penulis ini sama-sama menggunakan diksi sederhana. Namun, buat saya, bisa menampilkan sesuatu yang sederhana perlu keterampilan menulis yang teruji jam terbangnya. Mba Reda banyak bermain dengan ragam dialog yang mewakili banyak karakter yang diciptakannya, lengkap dari versi 90-an sampai 2000-an. Kak Cyntha mampu menunjukkan kecantikan dari kesederhaan. Analogi-analogi yang dipakainya pun natural sekali sampai saya sering nggak sadar sedang membaca analogi.

Senang dan puas rasanya setelah membaca kedua buku ini. Keduanya tipe tulisan yang saya suka: Lugas, jelas apa premis ceritanya, apa adanya, dan tidak memunculkan banyak tanda tanya seusai membaca. Mba Reda dan Kak Cyntha akan jadi auto-buy author yang selalu saya nanti karya berikutnya ❤️