Teguh: Tentang Cara Mencari, Memilih Bacaan, Belajar dari Buku, dan Tiga Rekomendasi Buku Favoritnya

Teguh Triguna - Grisselda Nihardja.jpeg

2020 adalah tahun ke-empat belas saya bersahabat dengan Teguh Triguna. Panggil saja dia Teguh, walau saya dan dia biasa saling memanggil dengan “Pak”, dan “Bu”. "Bu, lagi di BSD nih. Lagi woles nggak?”, atau “Pak, weekend ini Netflix Party, yuk!” Sejak kapan jadi manggil bapak ibu begitu pun saya sudah lupa saking sudah terlalu biasa.

Ada satu hobi Teguh yang sama dengan saya: Membaca. Kami sering berbagi rekomendasi buku bagus, dan kalau main ke toko buku, biasanya saling meracuni sampai buku yang dibawa pulang temannya lebih dari dua. Hahaha.

Untuk blog post ini saya menanyakan secara spesifik preferensi bacaannya, bagaimana caranya mencari buku, caranya memilih apa yang mau dibaca, rekomendasi buku yang dia suka, dan karena Teguh adalah seorang producer, tentu saja ada buku yang berkaitan dengan film di salah satu pilihannya.

(Harap maklum kalau pada obrolan ini kami berdua pakai “gue” “lu” ya, karena kalau saya dan Teguh pakai “aku” “kamu”, ADUH GELI BANGET. Dari zaman temenan masih pakai seragam sekolah, nggak pernah begitu. Demikian).

***

Ada bedanya nggak buku yang dipilih saat lu sebagai Teguh Triguna, dan saat lu sebagai Teguh Triguna yang menyandang titel “producer” atau “entrepreneur”?

“Kalau untuk personal, gue lebih suka baca buku self-development yang terkait dengan psikologi manusia. Salah satu yang gue suka itu Quiet yang ditulis Susan Cain. Kalau novel, tergantung topik yang ada di novel itu gue suka atau nggak. Kalau novel, salah satu yang gue suka itu Laut Bercerita-nya Leila S. Chudori.

Baru ketika melihat diri dengan pekerjaan, gue baca buku-buku tentang startup, entrepreneur, finance. Gue dari kecil melihat buku itu alat bantu belajar yang fun. Belajar mindset yang baru, dan menanyakan ke diri sendiri ‘mindset yang gue punya selama ini benar atau salah sih?’

Kalau melihat diri sendiri, rasanya ya ada aja yang kurang, ‘Belum ngerti tentang ini deh, belum belajar tentang itu deh.’ Jadi ketika ketemu dengan buku yang ‘jodoh’, gue seneng, dan jadi pengen baca dan pengen tahu.

Sebenarnya gue melihatnya gini, ketika baca buku, yang gue cari itu bukan hanya pengetahuan.

Gue ngerasa kalau mau nyari knowledge ya sesimpel Google aja. Misal gue mau tahu tentang startup business, production house business, ya cari di Google, atau nonton vlog, karena banyak referensinya di situ.

Ketika baca buku, satu hal yang beda adalah gue dapat pemahaman.

Gue jadi ngerti konteksnya, karena buku kan nggak dibikin satu-dua hari, ya. Bikin buku yang bagus kan di-develop bertahun-tahun, bahkan ada proses riset, mungkin ada interview orang-orang dan semacamnya. Proses-proses itu tuh yang gue rasa membantu untuk dapatin pemahaman.

Baca buku itu berproses sih. Ibaratnya, nelennya tuh nggak gampang. Cari pengetahuan, googling, browsing, nelen ya nelen aja. Kalau baca buku itu kayak harus dikunyah dulu. Ini apa sih, ini rasanya apa sih?”

Tadi lu sempat menyebut kalau buku itu membantu untuk belajar. Cara belajar lu dengan buku seperti apa, Pak?

Pertama, gue udah siapin sebelumnya kalau gue akan belajar topik apa. Misalnya, bulan ini mau belajar video agency. Gue akan menyeleksi buku dari rak gue yang relate dengan topik itu, pisahin mana aja yang mau dibaca, dan taro di meja. Biasanya ada dua-lima buku yang akan gue ambil. Entah itu dari sisi kreatifnya, produksinya, ataupun teknisnya. Jadi gue nggak mikir lagi mau nyari buku apa di rak. Selain itu, sebenarnya gue juga akan tandemin dengan YouTube. Gue cari-cari dulu videonya, terus gue save masukkin ke private playlist.

Tanda bab mana yang ingin dibaca.

Tanda bab mana yang ingin dibaca.

Setelah tahu mau belajar apa, dan bukunya udah dikumpulin, gue akan lihat daftar isinya dan kasih tanda bab mana aja yang mau gue baca. Jadi ketika nanti gue pegang buku itu lagi, tinggal lihat bab mana aja yang mau dibaca dari awal. Memilih buku sampai ke milih bab ini tuh mempermudah hidup gue sendiri ketika mau baca buku. Kalau misalnya milih lagi, terus udah tahu buku apa, terus milih-milih lagi mau baca bab yang mana, itu bakal dragging kalau di gue. Di sisi lain, kalau baca buku secara kronologis, sejauh ini cara itu nggak efektif buat gue. Soalnya di non-fiksi ada beberapa bagian yang bertele-tele dan kalau itu dibaca dari awal malah bikin gue jadi nggak lanjut baca.

Saat baca buku untuk belajar, gue sih nggak yang harus nyatet gitu, ya. Just read aja. Karena ini gue anggap proses belajar, gue nggak mau merasa tertekan atau terpaksa harus nyiapin pulpen, penggaris, atau harus duduk di meja. Gue nggak mau kaya gitu. Gue sesimpel kalau mau baca buku, ya bisa di meja, kursi, ya udah tinggal baca. Cara ini lebih works ke gue.”

Nah, mundur sebentar. cara lu mencari buku biasanya gimana?

“Walaupun nggak aktif di Goodreads, gue sering nyari referensi dan baca review-review di sana. Gue juga sering lihat recommendations yang ada di Goodreads. Selain itu, gue juga cari buku berdasarkan pengarang. Biasanya, kalau memang pengarangnya udah pernah baca, terus dia nerbitin buku lagi, gue akan cenderung untuk mengikutinya. Sama yang berpengaruh juga adalah saat teman-teman nge-post di Instagram, ya kaya lu deh. Kadang-kadang gue tanya juga kan, ini buku apa Griss kalau isi buku yang lu upload itu ternyata terlihat menarik buat gue.”

Baca juga: Cara Memilih Buku Non-fiksi

Tiga rekomendasi buku yang lu suka? Tiga aja, jangan lebih. (Catatan: Banyak buku yang dia suka, bisa tanya ke orangnya ya kalau tiga ini masih kurang) 

Wonder.jpg

“Yang pertama Wonder, yang ditulis R.J. Palacio. Ceritanya relate banget sama gue. Gue juga anak bungsu di keluarga. Gue juga sempat ngerasain di-bully waktu SD. Terus dari sisi gue, karena buku ini gue jadi paham tentang saudara kandung dan orang tua karena ada sudut pandang semua anggota keluarga yang ditunjukkin di buku ini. Gue jadi ngerti, setiap anggota keluarga ya punya konflik yang berbeda, punya perspektif yang berbeda juga. Secara nggak langsung, karena kita berkeluarga, ya akan bersinggungan, bahkan bergesekan. Nggak mungkin bisa dihindari lu hidup sekeluarga nggak bergesekan dengan anggota keluarga yang lain. Nah, buku ini tuh mengupas tentang itu. Ketika baca ini, gue belajar, ‘oh ini sudut pandang kakak, mama dan papa gue.’

Film-nya juga bagus, aktingnya Julia Roberts bagus banget di film Wonder. Walau ada beberapa perbedaan, gue tetap suka dua-duanya. Wonder ini tipe buku dan film yang nggak menggurui. Lu dapet pemahaman tentang keluarga, dan lu bisa belajar dengan emosi.

Belajar, mendapatkan mindset yang baru dengan merasakannya itu kan mahal.

Satu pengalaman yang lu harus merasakannya tanpa harus mengalaminya. Itu the power of storytelling ya. Gue bisa paham perspektif lu, gue bisa paham perasaan lu, sedihnya lu, gue bisa paham marahnya lu. Gue bisa belajar dan memahami itu semua tanpa gue harus mengalaminya dulu. Nah itu tuh yang bisa dilakukan Wonder. Ketika lu mau paham tentang perspektif orang lain, kenapa sih punya banyak konflik dengan banyak orang—Punya masalah itu bukan berarti akhirnya debat terus ya. Punya masalah dan lu pendem kan itu juga masalah, cuma nggak muncul aja—baca dan nonton Wonder deh. Awesome

Krisis dan Paradoks Film Indonesia.png

Next, gue akan merekomendasikan Krisis dan Paradoks Film Indonesia yang ditulis Garin Nugroho. Texty banget, bukunya cukup berat, karena yang nulis Garin Nugroho, hahaha, tentu saja berat, tapi ketika gue mau tahu perfilman Indonesia, ini cukup lengkap untuk jadi referensi.

Buku ini ngebahas film dalam konteks budaya Indonesia. Pendekatannya ini film sebagai pop culture. Jarang banget loh ada buku Indonesia yang membahas budaya pop. Biasanya referensi dari luar. Garin bahas budaya Indonesia yang difilmkan. Ada dua tipe: Ada film-film yang memang representasi dari budaya Indonesia, dan ada juga yang jadi paradoks, ketika itu not really Indonesian culture tapi difilmkan untuk di-perceive, dipercaya sebagai Indonesian culture.

Kita punya sejarah kalau film digunakan sebagai alat propaganda. Film itu dijaga oleh negara. Film itu dijaga pemerintahan. Dulu, film ada di bawah Departemen Komunikasi Penerangan. Yang begitu juga dibahas di buku ini. 

Selain itu, film dari sisi ekonomi juga dibahas oleh Garin. Kita kadang nggak paham kenapa akhirnya (industri perfilman) bisa seperti ini. Misalnya, dulu film dibatasin banget, tapi sekarang sudah mulai “bebas” dalm arti semua orang bisa bikin film, investasi asing udah bisa masuk, dan segala macamnya.

Dari buku ini kita juga bisa paham kenapa sih dulu, independent filmmaker kayak angkatan Mira Lesmana, Riri Reza dianggap sebagai generasi angkatan pencetak sejarah perfilman Indonesia; ternyata ada latar belakang politik yang harus diperjuangkan oleh filmmaker itu untuk disampaikan ke orang-orang Indonesia.

Krisis dan Paradoks Film Indonesia menurut gue bisa membuat kita paham akan kondisi film Indonesia yang sekarang. Kenapa sekarang ini kita punya preferensi bioskop yang nggak terlalu banyak, penjangkauan bioskop-bioskop juga belum banyak, dan belum semua daerah di Indonesia punya bioskop. Pertanyaannya, kenapa dulu bioskop lebih banyak, dan lebih gampang diakses?

Pemahaman tentang film Indonesia, yang nggak pernah gue baca di blog atau digital media lainnya, baru gue baca di buku Garin ini. Kenapa Garin bikin film-film yang genrenya begitu, ternyata, secara nggak langsung, terjawab di buku ini juga.

Work Rules!.jpg

Yang ketiga gue mau kasih buat Work Rules! yang ditulis Laszlo Bock, ex-Senior Vice President of People Operations di Google. Buku ini ngebahas tentang gimana caranya kita supaya bisa working effectively, entah itu sebagai freelancer, kerja di perusahaan orang, atau startup founder. Dibahas di sini, kenapa sih kita harus punya ambisi saat kerja, dan ambisi yang benar tuh gimana.

Buku ini menantang kita untuk bisa mikirin career path. Intinya lu kerja ya jangan cuma kerja-kerja aja. Lu harus punya rules-nya. Rules-nya bukan lantas bikin kita jadi kaku atau gimana ya, tapi rules itu yang akhirnya bikin lu punya goals. Tahu kenapa lu harus kerja di kantor ini, kenapa gue harus bikin kantor ini, kenapa gue harus bertahan, atau malah kenapa gue harus cabut dari kantor ini.

Kalau dari sisi leader-nya, ketika lu bekerja di kantor ya you are a leader. Nggak hanya sekadar bawahannya orang. Buku ini juga ngajarin ketika bekerja, lu tahu apa yang terbaik, jadi nggak harus iya-iya aja sama kata orang. Ketika bekerja kan mau gak mau lu harus bisa profesional dalam posisi yang lu pegang. So that’s why ketika lu jadi profesional, harusnya yang paling ngerti dari job desc. dan output dari kerjaan itu ya lu sendiri. Sehingga saat ada orang lain yang meminta, lu bukan hanya mengerjakan apa yang mereka suruh, tapi lu bisa tahu juga ‘Objective-nya apa sih dari yang mereka minta dari gue?’ Jadi yang dikasih bukan hanya apa yang diminta, tapi yang menyelesaikan masalah mereka. Ini yang terjadi di Google, karena orang-orangnya dibangun untuk jadi problem solver. Ini buku leadership bagus yang gue suka.”


IMG_7171.jpeg

Belasan tahun berteman, saya masih kagum tiap kali ngobrol panjang dengan Teguh. Selalu ada wisdom yang rasanya kok melambaikan tangan seakan ngajak tos ke saya supaya sadar rasanya bersentuhan dengannya seperti apa. Cara pandang Teguh akan suatu hal, selalu ada yang nggak saya sangka. Saya nggak tahu loh kalau dia membedakan sekali antara “pengetahuan” dan “pemahaman” sampai. Ini sesuatu yang nggak pernah saya gubris sebelumnya. Dan bersyukur, obrolan ini memunculkan kejutan-kejutan seru yang akan saya ingat terus 😄

Kalau ingin tahu lebih banyak tentang Teguh, kalian bisa follow dan menyapanya di Instagram. Dia suka share tentang life growth, film, dan lika-liku yang dihadapinya di pekerjaan dengan cara-cara kreatif di post-nya. Silakan disapa, saya berani jamin, orangnya baik hati dan tidak sombong.