Kualitas vs. Kuantitas

“Griss, how do you read so many books?”

“Griss, gue setahun 12 buku juga belum tentu kebaca, lho.”

“Gimana sih, Kak, caranya biar bisa baca banyak buku?”

Saya pakai akun Instagram, juga blog ini, untuk berbagi tentang serunya membaca buku. Berbagai buku yang saya anggap bagus, unik, atau setidaknya punya satu bagian kecil yang menarik untuk diceritakan, saya unggah menjadi ulasan, rekomendasi, atau sesimpel jepret kutipan yang disuka dan taruh di Instagram story.

Sayang rasanya kalau ketemu buku bagus (subjektif tentunya, bagusnya ya menurut saya), tapi masih banyak orang yang belum baca.

Namun, beberapa pertanyaan yang sering saya terima entah dari DM, maupun tiap buka Question Box di Instagram kurang lebih punya benang merah yang sama: Bagaimana caranya membaca, dan lebih spesifik lagi, bagaimana caranya baca banyak buku?

Memang kalau dilihat dari rekaman yang ada di Goodreads, sampai Agustus saya sudah membaca 49 buku. Besok juga angkanya akan berubah menjadi 50 karena sedang membaca satu buku yang sebentar lagi selesai untuk diskusi besok. Hanya saja, jumlah buku yang selesai dibaca ini kalau dijadikan patokan kok ya rasanya agak mengganjal. Lalu kalau membandingkan jumlah buku yang kamu baca dengan jumlah buku yang saya baca pun rasanya tidak perlu.

2021 Goodreads Reading Challenge - Grisselda Nihardja (1).png

Saya pasang angka di Goodreads Reading Challenge semata-mata hanya untuk merekam dan naruh jejak. Gue baca apa aja ya tahun ini? Gue lagi tertarik sama buku macam apa ya tahun ini? Gue alocate cukup waktu buat baca nggak ya tahun ini?

Tiga tahun belakangan saya menaruh angka “50” buku untuk dibaca. Angka 50 cakep aja gitu, angka bulat yang cocok dengan prediksi sebulan saya bisa baca tiga sampai lima buku. Angka tiga sampai lima buku per bulan pun sudah dihitung dari reading pace saya tiga tahun terakhir ini. Kalau ternyata lebih dari 50, ya berarti saya ketemu banyak buku yang menarik perhatian. Kalau nggak sampai 50, ya mungkin saya lagi kena reading slump, banyak aktivitas yang menyita waktu sampai nggak bisa sering baca, atau ketemu hobi baru. Kalau pun harus melalui fase seperti itu (nantinya) sehingga saya nggak bisa baca 50 buku, ya nggak apa-apa juga.

Saya sendiri nggak memasang target membaca layaknya lagi set KPI atau OKR yang angkanya harus bertambah dari bulan ke bulan, atau dari tahun ke tahun. Apa yang dibaca datangnya ya terasa “natural” mengikuti apa yang lagi saya ingin tahu/minati. Jumlah berapa buku yang selesai dalam angka hanya “aksesori”.

Saya justru ingin mengajak untuk memeriksa ulang tujuan dari membaca itu sendiri.

Dari buku How to Read a Book, tujuan membaca secara umum digolongkan menjadi tiga:

  • Reading for information

  • Reading for understanding

  • and of course, there is also reading for entertainment (yang tidak dijelaskan di buku itu, karena semua orang sudah dianggap tahu dan bisa melakukannya kalau mau)

Nggak ada kan ya reading for numbers. Dan memang saya juga mengamini itu nggak perlu. Sebagai manusia memang kita punya kecenderungan untuk membandingkan, dan membandingkan dengan angka itu yang paling gampang karena kelihatan dengan mudahnya. Follower si anu lebih banyak dari si inu, berat badan X > berat badan Y, harga rumah ZZZZ lebih mahal daripada harga rumah YYYY, dan masih banyak lagi, sampai-sampai jumlah buku yang selesai dibaca masuk juga, dan kadang bisa nambah pressure nggak penting untuk pengalaman membaca seseorang.

Bukan saya bisa baca berapa banyak buku, tapi saya baca buku untuk apa, dan apakah saya enjoy melakukannya. Quality over quantity. Kuantitas buku di sini bukan currency, jadi saya nggak melihat gunanya untuk apa kalau ngoyo dikejar sampai segitunya. Di sisi lain kualitas (dari buku yang dibaca dan pengalaman membaca) justru memungkinkan saya untuk mengolah informasi dan pemahaman dari membaca menjadi sesuatu yang lebih berguna. Kualitas nomor satu, kuantitas otomatis mengikuti.

Tentu saja cara pandang ini bisa berbeda tergantung profesi dan tujuan kita masing-masing. Buat akademisi, penulis buku, researcher, mungkin saja membaca buku perlu ditargetkan berapa banyak dan selesai kapan agar project yang dikerjakan bisa on track dan selesai tepat waktu. Buat content creator (book reviewer, booktuber), mungkin membaca buku juga jadi prioritas karena bukulah yang jadi bahan bakar kontennya. Namun, andai pekerjaan utama menuntut untuk membaca buku pun, saya rasa yang jadi tujuan utamanya tetap ke informasi atau pemahaman itu sendiri, bukan jumlahnya. Bagaimana mengolah informasi dan pemahaman itu rasanya lebih penting daripada angka.

Buat yang menjadikan membaca sebagai hobi, atau kebutuhan karena memang suka; entah karena senang saat bisa hanyut dalam cerita, senang melihat permainan diksi yang apik, atau ingin dapat pemahaman baru akan topik tertentu, ya membacalah dengan nikmat. Dengan ritma dan kecepatan yang sesuai dengan diri.

Saya suka membaca untuk belajar, mendapat perspektif baru, dapat pencerahan dari berbagai tanda tanya yang berseliweran di kepala. Tapi daripada melalukan SKS, sistem kebutbuku semalam agar “rekor” jumlah bertambah, saya lebih memilih mencerna satu buku sampai bisa mengekstrasi apa yang menarik agar bisa dipakai saat dibutuhkan.

Reading in itself can require very different kinds of attention, depending on the text. Some texts need to be read slowly and carefully, while others are only worth skimming. It would be ridiculous to adhere to a general formula and read every text in the same way, even though that is what many study guides or speed-reading courses try to convince us of. It is not a sign of professionalism to master one technique and stick to it no matter what, but to be flexible and adjust one’s reading to whatever speed or approach a text requires.
— Sönke Ahrens, How to Take Smart Notes

Buku yang dianggap bagus, buku yang dianggap menarik, buku yang bisa memancing rasa penasaran, pasti akan selesai pada waktunya. Karena tiap buku membutuhkan “treatment” yang berbeda, dan apa yang saya dengan kamu baca juga beda, ya pada akhirnya nggak bisa disamaratakan. Kalau waktu saya dan kamu beda, sehingga jumlah buku yang selesai kita baca juga jadi beda, nggak apa-apa ya. Mari kita nikmati saja serunya membaca, tanpa perlu membebani diri dengan membandingkan angka.