Tip Menulis Resensi Buku: Buat “Indeks” Saat Membaca

Tip Menulis Resensi Buku, Buat Book Index Sambil Membaca - Grisselda Nihardja.jpg

Semakin sering membaca dan mengutarakan pendapat tentang buku, saya mengamati ada satu kebiasaan baru yang muncul dua tahun belakangan ini: Bikin “indeks” buku. Iya, diapit dengan tanda petik, karena kalau dibandingkan dengan definisi indeks yang saklek ya nggak 100% memenuhi syarat. Sebenarnya bikin catatan saat membaca sudah dilakukan sejak dulu, tapi khusus untuk indeks ini jadi lebih rapi lah dua tahun terakhir ini.

Definisi indeks

Di kamus bahasa Indonesia maupun beberapa kamus bahasa Inggris luar, pengertian indeks ini kurang lebih sama. Mengutip dari KBBI, salah satu artinya seperti ini:

in.deks /indèks/

n. daftar kata atau istilah penting yang terdapat dalam buku cetakan (biasanya pada bagian akhir buku) tersusun menurut abjad yang memberikan informasi mengenai halaman tempat kata atau istilah itu ditemukan

Biasanya, indeks buku bisa kita temukan di beberapa halaman akhir buku non-fiksi, walau nggak semua mencantumkannya. Indeks ini bisa diisi dengan istilah, nama orang, sampai topik tertentu yang dibahas di dalam buku.

“Indeks” buku versi saya

Kalau indeks beneran disusun dengan detail dan sesuai abjad, kalau versi saya lebih ala kadarnya. Daripada bikin sesuai abjad yang belum ketebak butuh space berapa banyak di kertas, saya bikin sesuai urutan bab buku.

Format:

Bab X: [Judul bab]

XX (nomor halaman): [Keyword/catatan]

XX (nomor halaman): [Keyword/catatan]

Kalau dalam satu halaman ada beberapa keyword yang ingin saya catat, tambahkan bullet points tanpa menulis ulang nomor halamannya lagi:

XX (nomor halaman): • [Keyword/catatan]

• [Keyword/catatan]

Note: indeks yang saya maksud di blog post ini indeks analog ya. Kalau buat baca e-book serupa tapi tak sama. Itu buat lain waktu, ya. Format di atas biasanya itu yang saya pakai, tapi nggak menutup kemungkinan ada adjustment untuk bacaan tertentu.

Apa yang Dibutuhkan?

Alat tulis. Kertas dan pulpen/pensil. Pakai buku bisa, kertas binder bisa, sticky note bisa, notepad juga bisa. Apa saja. Bebas.

Di video “Cara Menandai dan Menganotasi Buku”, saya mencontohkan pakai kertas binder untuk bikin indeks.

Mau bikin indeks dengan langsung ketik di note-taking app juga bisa supaya lebih gampang dicari. Kalau saya masih setengah-setengah, kadang analog, kadang digital. Aktivitas menulis pakai pulpen di atas kertas itu masih punya pesonanya tersendiri :D

Apa yang dicatat di dalam indeks?

  • Keywords penting.

  • Topik yang terasa paling menonjol dari bab atau halaman itu.

  • Topik yang ingin dicari tahu lebih lanjut.

  • Kutipan yang disuka atau ingin dibaca ulang.

  • Argumen menarik dari penulis.

  • Argumen penulis yang debatable.

  • Kalimat yang mengingatkan saya pada buku lain.

  • Pertanyaan yang jadi muncul saat membaca kalimat/paragraf/halaman tersebut.

Apakah semua buku harus dibuat indeksnya?

Nggak dong. Saya biasanya bikin indeks untuk buku-buku yang sudah terasa padat informasi, bakal jadi referensi untuk topik tertentu yang sedang saya cicil pelajari, dan buku yang mau diobrolkan bersama teman-teman. Selain itu ya saya paling hanya tempel-tempel sticky tab saja.

Kapan waktu terbaik membuat indeks buku?

Bisa ditulis sambil membaca (ada yang menarik langsung tulis), bisa juga selesaikan satu bab dulu baru bikin indeks.

Saya biasanya seperti itu.

Pernah juga mencoba menyelesaikan baca beberapa bab atau menyelesaikan satu buku sampai tuntas baru bikin indeks, tapi malah jadi nggak niat dan terlalu malas karena tertunda lama dan jadi numpuk yang perlu dicatat. Ujung-ujungnya saat mau bikin resensi buku jadi lebih lama karena nggak indeks. Hmmm.

Setelah beberapa kali kejadian seperti itu, tentu kapok. Balik lagi ke metode yang saya sebutkan di awal. Hahaha.

Apakah indeks buku bikin lebih ingat? Apa aja manfaatnya?

Ada yang bertanya ke saya, gimana caranya supaya nggak lupa dengan buku yang dibaca. Kalau dari pengalaman saya, apa yang dibaca pada waktunya ya pasti ada yang terlupakan. Otak kita bukan untuk menyimpan segudang informasi. Dari sekian banyak yang dibaca, yang terekam di ingatan paling hanya beberapa bagian saja. Kalau ingin ingat, perlu praktik atau/dan diulang secara berkala.

Jika spesifik bicara buku non-fiksi, saya bisa mengingat dengan baik apa yang bisa saya praktikkan. Mirip seperti menghafalkan rute jalan baru: Kalau nggak dicoba sendiri, dan dilalui beberapa kali, sulit buat saya untuk menghafalnya di luar kepala. Tapi, kalau kasih kuis ke saya tentang habit formation, saya bisa jawab dengan lancar karena buku-buku seperti Atomic Habits dan The Power of Habit memang saya praktikkan. Saya bisa bantu jelakan apa itu habit stacking, keystone habit, dan golden rules kalau ingin bikin kebiasaan baru maupun buang kebiasaan lama. Nanya ke saya tentang penulisan artikel dan journaling pun bisa saya jawab karena memang apa yang saya baca, saya coba, dan saya masukkan ke dalam rutinitas sehari-hari. Tapi, itu kan jenisnya self-development. Sementara buku non-fiksi cabang sub-genre-nya banyak sekali.

Ada buku non-fiksi tentang Indonesia tahun ‘65, perubahan ekonomi global, kesusastraan, sampai Artificial Intelligence (AI). Beberapa di antaranya ada yang setelah baca ya sudah, sekarang jadi tahu, tapi nggak ada immediate action yang bisa dilakukan di keseharian saya. Untuk buku-buku tertentu, saya sudah menerima kondisi pasti akan lupa ini, kecuali saya punya partner diskusi yang seenggaknya seminggu sekali nowel buat bahas topik tersebut. Namun pada kenyatannya kan nggak begitu. Apalagi kalau topik itu bukan bidang yang saya geluti sebagai pekerjaan utama, porsi waktu yang diberikan untuk hangout bareng bersama topik itu ya secukupnya saja, dan menurut saya itu nggak apa-apa.

Di tengah information overload seperti sekarang, kalau saya terus-menerus mengulang semua topik yang dibaca, hasilnya malah I can’t “function” well karena overdosis dengan banyaknya informasi. Gimana saya mau fokus dan deep work kalau di dalam kepala isinya sedang berusaha mengingat 20 macam topik berikut dengan turunannya?

Jadi, lupa dengan apa yang sudah dibaca itu wajar, dan nggak apa-apa.

Di sinilah indeks buku mengambil peranan penting karena dengan punya indeks, saya jadi gampang mencari informasi yang dibutuhkan.

Biasanya, kalau buku itu berkesan, walaupun lupa apa penjelasan detail dari suatu teori/argumen, seenggaknya kata kunci atau istilah pentingnya masih tersisa di ingatan. “Gue inget deh, intuisi ini pernah dibahas juga sama Daniel Kahneman di Thinking, Fast and Slow.” Nah, kalau udah gitu tinggal lihat daftar isi, dan indeks buku. Cek dulu, “intuisi” ini masuk sebagai judul babnya atau nggak. Kalau iya, lebih enak lagi tinggal cek bab tersebut dan baca indeksnya. Kalau nggak, ya baca dulu indeksnya dari awal.

Indeks buku yang saya bikin saat baca Thinking, Fast and Slow totalnya ada 12 halaman. Buat saya, baca 12 halaman ini jauh lebih memudahkan daripada nyari satu pembahasan di antara ratusan halaman bukunya. Buku digital gampang, tinggal ketik kata dan search. Lha buku fisik kebayang kan, kalau nggak bikin indeks, itu kayak nyari satu jarum di antara tumpukan jerami buat yang kapasitas memorinya terbatas macam saya.

Indeks buku bisa jadi discussion guideline saat kita ngobrol di klub buku bareng teman-teman. Nggak tahu mau bahas apa lagi padahal baru 30 menit jalan? Tinggal buka indeks, pilih satu, terus lempar ke teman-teman: Menurut gue pembahasan XYZ ini kontradiktif karena …., kalian ngerasa gitu juga nggak? Pendapat kalian gimana? Indeks ini seperti amunisi topik obrolan. Kalau udah tersusun dan terekam dengan baik dalam bentuk catatan, stok yang mau dibahas pasti selalu ada dan kecil kemungkinannya akan kehabisan bahan.

Indeks Buku - Grisselda Nihardja.jpg

Indeks buku juga bisa jadi pemantik riset. Baca ulang halaman sekian, cari referensi/sumber lain tentang topik XYZ, atau coba tanya ke si anu, pendapatnya tentang XYZ gimana. Berguna sekali kalau buku yang dibaca memang ada kaitannya dengan kepentingan lain yang kita punya.

Setelah indeks jadi, lalu gimana bikin resensi bukunya?

Dari sekian banyak pembahasan menarik yang ditawarkan satu buku, nggak mungkin semuanya disebut dalam resensi. Indeks ini buat saya jadi filter pertama: Apa yang dirasa penting, menarik, dan bikin penasaran, catat di dalam indeks. Kalau nggak dicatat, menurut saya bakal lama lagi untuk cari dan buka-buka bukunya saat ingin meramu resensi.

Setelahnya, baca ulang indeks buku, dan lakukan “tebang pilih”. Inilah filter kedua: Memilih beberapa informasi yang paling disuka, paling dianggap penting atau menarik untuk dibagikan dalam resensi. Dari contoh foto indeks buku di awal post ini (Invisible Influence), untuk melakukan filter kedua ini saya biasanya melingkari atau menggarisbawahi yang jadi pilihan utama.

Pilihan terakhir inilah yang biasanya paling “berbicara” ke saya. Bisa jadi karena paling relate, atau paling relevan dengan situasi banyak orang, atau yang dirasa sayang kalau cuma saya doang yang tahu. Ada juga bertanya, kalau yang dianggap menarik masih banyak gimana? Bikin jadi bite-sized series. Persempit cakupan yang mau disampaikan, tapi perbanyak jumlahnya. Bisa gitu juga kalau mau.

Tip lain yang bisa dicoba juga saat menulis resensi buku (non-fiksi) adalah menambahkan pengalaman atau cerita kamu. Misalnya, di resensi buku saya tentang Invisible Influence, ada poin menarik tentang manusia yang ingin beda dari manusia lain untuk punya sense of self. Punya barang dari brand yang sama, tapi warnanya beda. Saya tambahkan di situ apa yang memang terjadi pada saya: Mobil yang sama seperti sejuta warga Indonesia lainnya, tapi dimodif dikit di beberapa bagian supaya beda :D

Buat yang suka bikin microblog di Instagram, bisa juga bikin key takeaways dari bukunya (baca deh bikinan Devina ini. Sip banget!), riset lain yang kamu temukan tentang topik tersebut (cek microblog Kak Yun. Muantap kali!), atau next actions yang bisa dicoba setelah selesai membaca bukunya (bisa lihat beberapa Catatan Baca saya).

Saat bahannya sudah terfilter, menulis resensi buku pun terasa lebih mudah.

How about you? Pernah bikin indeks buku juga?