Atomic Habits dan The Power of Habit, Mana yang Lebih Bagus?

the-power-of-habit-and-atomic-habits-rak-cerita.jpg

Ternyata, saya punya ketertarikan dengan kebiasaan, bahkan dari sepuluh tahun yang lalu. Buktinya pun saya punya. Ah, tapi nunjukkin itu nanti saja, ya. Sekarang, saya mau cerita dulu tentang dua buku yang membahas kebiasaan: Atomic Habits yang ditulis James Clear, dan The Power of Habit yang ditulis Charles Duhigg.

Dilihat dari urutan terbitnya, The Power of Habit lahir lebih dulu di 2012, dan Atomic Habits baru lahir di 2018, tapi yang saya baca duluan justru Atomic Habits (awal 2019), dan saat itu juga langsung suka, dan makin tertarik dengan tema kebiasaan ini.

Atomic Habits

Atomic Habits by James Clear

Atomic Habits by James Clear

James Clear punya gaya menulis yang sistematis sehingga tulisannya mudah dicerna dan enak dibaca. Dia bisa mengurai proses terbentuknya kebiasaan, cara memeriksa kebiasaan yang kita punya, cara menyesuaikan kebiasaan baru dengan kebiasaan lama, juga cara untuk melanjutkan kebiasaan. Semuanya dijelaskan dengan penuturan yang memikat.

Apa yang dia sampaikan terasa masuk akal, karena ada alasan yang jelas–– kenapa dia membuat "formula" ini, kenapa dia bisa menyimpulkan sesuatu––, lengkap, dan nggak bertele-tele.

Nggak hanya memberi penjelasan, James Clear juga memberi seperangkat "alat" yang bisa dipakai untuk self-check, membuat, dan menghilangkan kebiasaan (yang buruk). Rangka untuk membentuk kebiasaannya pun praktis, dan mudah diikuti:

  1. Make it obvious (cue)

  2. Make it attractive (craving)

  3. Make it easy (response)

  4. Make it satisfying (reward)

Ada satu kutipan di bab pertama Atomic Habits yang bikin saya langsung yakin, "Okeh, kita bakal klik nih sampai selesai!"

You do not rise to the level of your goals. You fall to the level of your system.

I am a goal-oriented type of person, but I also a firm believer of good system. Percuma membuat gol kalau sistemnya salah, atau nggak beres. Hidup tanpa sistem yang efektif, bekerja tanpa sistem yang benar, terlalu berantakan. Setidaknya buat saya. Chaotic, too random, and tiring. Namun, untuk saya, gol juga penting; karena tanpa gol, hidup seperti mengalir tanpa arah. I can't adopt "just go with the flow" mentality. It's not for me. I need to set or have a clear goal, and I build, adjust, revise, and improvise my system to go in that direction. Dari buku ini saya seperti diingatkan lagi untuk menemukan titik tengahnya. Jangan terlena, jangan keasyikan bikin gol sampai 10 lembar di jurnal, tapi nggak juga bikin sistemnya.

"Habits are like the atoms of our lives. Each one is a fundamental unit that contributes to your overall improvement. At first, these tiny routines seem insignificant, but soon they build on each other and fuel bigger wins that multiply to a degree that far outweighs the cost of their initial investment."

Membaca Atomic Habits bikin saya langsung utak-atik kebiasaan. Salah satu formula yang saya suka, dan sudah dicoba adalah habit stackingatau menumpuk kebiasaan:

Setelah (melakukan kebiasaan yang dipunya), saya akan (melakukan kebiasaan baru).

Saya sedang mempraktikkan morning pages dari buku The Artist's Way yang ditulis Julia Cameron. Morning pages adalah menulis bebas, sebanyak tiga halaman, menulis dengan pulpen/pensil di atas kertas, yang dilakukan di pagi hari sebelum beraktivitas. Saya ingin morning pages ini jadi kebiasaan yang bisa dilakukan dengan lebih natural, dan bisa dinikmati karena manfaatnya sudah saya rasakan. Namun, terkadang tetap terasa berat karena bagi saya, menulis di pagi ini agak mengagetkan (masih setengah teler), belum terbiasa, dan tiga halaman itu banyak. Kalau kompromi, saya geser jadi sesempatnya; bisa siang, bisa sore, bisa juga malam. Jadi supaya bisa berada di jalur yang benar, saya menumpuk kebiasaan ini dengan kebiasaan yang setiap hari saya lakukan dan disuka, yaitu minum kopi di pagi hari. Sekarang jadi: Setelah minum kopi, saya akan menulis morning pages. And it works for me. Tandanya adalah kopi, dan karena saya doyan kopi, mood setelahnya jadi lebih enak dan menulis morning pages jadi lebih menyenangkan.

"Habit stacking allows you to create a set of simple rules that guide your future behavior. It's like you always have a game plan for which action should come next."

The Power of Habit

The Power of Habit by Charles Duhigg

The Power of Habit by Charles Duhigg

Kalau mencari buku tentang kebiasaan, kemungkinan The Power of Habit termasuk di dalamnya pun besar sekali. Di buku ini, kita akan menemukan proses terbentuknya lingkaran kebiasaan yang dibedah dengan teliti. Ada juga cara kerja otak, kebiasaan di tengah masyarakat, dan bagaimana perusahaan-perusahaan meraup keuntungan karena jeli memerhatikan kebiasaan konsumennya. Semua yang saya sebutkan ini dikemas dalam bentuk serangkaian cerita. Wah, kalau mengacungkan dua jempol untuk Charles Duhigg nggak cukup kayaknya. Dia lihai sekali bercerita bikin makin betah membaca.

Berbeda dengan Atomic Habits, rangka untuk mengubah kebiasaan versi Charles Duhigg di The Power Habit adalah:

  1. Identify the routine

  2. Experiment with rewards

  3. Isolate the cue

  4. Have a plan

Cue, routine, reward jadi tiga bagian utama yang dibawa Charles Duhigg. Craving pun ada juga di The Power of Habit, hanya saja tidak disebutkan secara gamblang di rangkanya.

Dari beberapa cerita, yang menempel sampai sekarang di kepala saya adalah tentang Tony Dungy, pelatih NFL di Amerika yang memakai strategi untuk mengubah kebiasaan para pemainnya. Namun, bukan sembarangan mengubah, apalagi mengubah secara drastis. "...to change a habit, you must keep the old cue, and deliver the old reward, but insert a new routine."

Ini termasuk ke salah satu dari the golden rule of habit change yang dirumuskan Charles Duhigg: Use the same cue, provide the same reward, change the routine. Suka nih saya kalau caranya membumi begini, nggak langsung jebret berubah drastis :)

Contohnya (ini belum saya praktikkan tapi sudah masuk dalam rencana untuk dicoba): Saat kesal, saya terbiasa meluapkan kekesalan langsung pada orang yang bersangkutan agar merasa lega. Apakah ini kebiasaan yang baik? Tentu tidak. Mari dipreteli biar makin jelas:

  • Cue/tanda: Muncul rasa kesal.

  • Rutinitas: Langsung meluapkan kekesalan dengan gamblang di depan orang yang bersangkutan.

  • Reward/hadiah: Rasa lega.

Saya nggak bisa menghilangkan atau menjauhkan cue yang ini (maklum, bukan malaikat), dan saya juga tetap ingin mendapatkan reward rasa lega itu (ya tentu). Kalau saya pakai the golden rule di atas, rutinitas baru yang bisa saya coba: Tarik napas dalam-dalam, arahkan intensi untuk tidak langsung merespon, dan memilih untuk menghindar selama beberapa menit. Menjauh sampai rasa kesal turun. Setelahnya, baru berbicara lagi dengan orang yang bersangkutan. Reward-nya sama: Rasa lega.

Ada lagi satu topik yang saya suka dari buku ini: Keystone habits, sebutan untuk kebiasaan yang punya peranan penting untuk memengaruhi hidup, bisnis, sekaligus gaya hidup dan cara kerja seseorang atau perusahaan.

Keystone habits start a process that, over time, transforms everything. Keystone habits say that success doesn't depend on getting every single thing right, but instead relies on identifying a few key priorities and fashioning them into powerful levers.

Keystone habit yang saya coba dan memang manjur adalah menimbang berat badan setiap pagi, dan mencatatnya di jurnal. Ini kebiasaan sangat simpel, terlihat sepele, tapi justru efek positifnya menular ke gaya hidup yang lain. Saat menimbang berat badan, dan tahu angkanya, plus dicatat pula, saya jadi lebih sadar dengan porsi makanan yang akan saya konsumsi berikutnya. Contoh: Hari ini ternyata berat saya naik 1,5 kg dibandingkan hari sebelumnya (gara-gara semalam makan mi goreng dobel, misalnya). Berarti, siang ini porsi makan saya secukupnya saja, jangan sampai berlebihan. Camilan juga dikurangi. Toh, tetap kenyang, kan tetap makan. Cuma lebih mengontrol yang masuk saja supaya nggak berlebihan. Kebiasaan menimbang dan mencatat berat badan ternyata ngefek banget buat saya. Sekarang jadi jauuuh lebih sadar saat makan, minum, dan lihat camilan.

Saya juga suka kalimat ini:

Pilling on so much change at once made it impossible for any of it to stick.

Setuju sama yang ditulis Charles Duhigg di atas. Saat baca, langsung nancap, seakan diajak untuk inget, woy, inget. Hahaha. Mirip seperti mengobrol dengan beberapa orang, ya. Bayangkan kalau semuanya berbicara dalam waktu yang bersamaan; yang ada jadi nggak jelas apa yang sedang diobrolkan, poinnya apa, dan arah perbincangannya mau ke mana. Begitu juga dengan kebiasaan. Kalau mencoba menjalankan beberapa kebiasaan baru sekaligus, ujung-ujungnya nggak ada yang maksimal dan malah berpotensi berhenti di tengah jalan. Periksa, dan pilih mana yang mau diprioritaskan dulu.

Mana yang lebih bagus?

atomic-habits-and-the-power-of-habit-rak-cerita-1-1.jpg

Dua-duanya bagus dengan gayanya sendiri. Nggak ada yang jelek menurut saya.

Atomic Habits terasa lebih practical karena ada di akhir babnya ada ikhtisar, lengkap dengan langkah-langkah yang bisa dicoba tiap selesai membahas satu poin utamanya.

The Power of Habit punya cerita-cerita nyata yang seru sehingga saya bisa menyimak seperti apa pengaruh kebiasaan pada hidup seseorang, komunitas, perusahaan, dan seperti apa praktik teori kebiasaan ini di dunia nyata.

Apakah perlu baca keduanya?

Tergantung ke seberapa penasaran kalian. Kalau saya, karena penasaran jadi ingin tahu keduanya.

Namun, kalau diminta pilih satu, Atomic Habits yang jadi pilihan saya. Lebih karena di buku ini susunan langkah-langkahnya mudah diikuti dan dicicil sambil baca untuk membangun kebiasaan baru dan mengeliminasi kebiasaan buruk secara bertahap. Tiap habis baca, selalu ada action plan yang bisa saya buat dan lakukan.

Saya menikmati cerita-cerita yang ada di The Power of habit, tapi karena ini temanya kebiasaan, dan saya pribadi sedang ingin langsung praktik, gaya penulisan Atomic Habits lebih cocok dengan preferensi.

Lalu, sesuai janji...

Ini tulisan sepuluh tahun lalu yang saya kirim ke majalah GoGirl!, lengkap dengan foto saya dari zaman batu. Kebiasaan ternyata jadi tema yang saya pilih saat itu. Hahaha.

Mengevaluasi dan mengatur kebiasaan akan jadi misi seumur hidup yang nggak akan berpapasan dengan kata tamat.

Kebiasaan yang sudah berhasil dibangun, mungkin sekali akan tergeser dengan kebiasaan lain. Seiring bertambahnya usia, yang diinginkan dan yang dituju pun pasti berubah, atau setidaknya, ada bedanya. Kebiasaan yang dulu, belum tentu ada faedahnya buat saya. Kebiasaan saya sekarang, belum tentu masih relevan dengan situasi saya nanti.

do-it-post-anything-grisselda.jpg

Sebagai penutup, saya mau meninggalkan beberapa hal di sini supaya mudah dilihat lagi, dan mungkin juga berguna buat kalian yang baca:

  1. Untuk membangun kebiasaan, repetisi dan konsistensi lebih penting daripada volume. Misalnya: Untuk membangun kebiasaan bangun lebih pagi, mulai dulu dari memajukan alarm dua puluh menit tiap hari. Nggak perlu langsung ke dua jam lebih awal.

  2. Kebiasaan seperti pedang bermata dua. Tergantung yang kita "pelihara" kebiasaan baik atau buruk. Penting buat sadar apa aja kebiasaan yang kita punya. Check, adjust, build, revise, repeat.

  3. Supaya kelihatan efeknya, kebiasaan harus eksis dalam jangka waktu yang lama. Hati-hati, banyak godaan yang bikin nyerah di tengah jalan.

Nah, buat yang udah baca Atomic Habits, atau The Power of Habits, suka nggak baca buku dengan tema kebiasaan seperti ini? Nggak mungkin dong saya sendirian yang terpincut? Hahaha. Buat yang penasaran, atau belum baca salah satu atau keduanya, buku tentang kebiasaan seperti ini terlihat menarik nggak buat kalian? :D

Baca Juga: Tiga Buku yang Berhasil Menuntun Saya ke Jalan yang Benar