Hesti: Komunitas Buku, Kontribusi, dan Sebutan Book Dragon yang Dipilihnya

Hesti - Komunitas Buku, Kontribusi, dan Sebutan Book Dragon - Grisselda Nihardja.jpg

Membaca buku, nggak hanya memberi informasi baru, atau jadi bentuk refreshing semata. Membaca buku juga menunjukkan pintu yang bisa dibuka untuk berjumpa dengan teman-teman baru. Tentu nggak semata-mata dengan membaca buku, lalu teman bertambah dengan sendirinya. Ada aksi yang perlu kita lakukan. Mulai dari berbagi pengalaman membaca di media sosial, mengikuti acara-acara komunitas, toko, atau penerbit buku, sampai mulai menyapa pemilik akun tertentu di DM Instagram.

Pertemuan saya dengan Hesti pun diawali berkat acara “Baca Bareng Tangerang” yang diadakan Sintia dan Ucha. Dari pertemuan singkat itu, kami saling mengikuti di Instagram, dan makin terpapar dengan konten yang dibuat masing-masing. Dari situ, saya dibuat takjub dengan berbagai kontribusi Hesti untuk memajukan minat baca di Indonesia.

Kalau diperhatikan, Hesti menulis reading buddy di bio media sosialnya, dan sungguh, memang itulah Hesti. Dia suka membantu orang-orang dengan merekomendasikan buku, membuat ulasan, menyebarkan informasi tentang acara literasi, sampai membagikan konten-konten dari creator lain ke teman-temannya.

Twitter jadi tempat pilihan Hesti untuk berbagi berbagai macam informasi tentang buku. Banyak utas yang dibuatnya, termasuk buku apa saja yang sudah dibacanya tahun ini, lengkap dengan tautan ulasan di Goodreads. Di Instagram pun begitu. Bulan Ramadan lalu, Hesti membuat Nunggu Magrib untuk ngobrolin berbagai macam topik seputar buku dan membaca saat ngabuburit.

Nggak hanya itu, Hesti juga menciptakan “ruang” aman untuk baca bareng. Yup! Hesti adalah inisiator Baca Bareng, bagian dari Silent Book Club yang diadaptasi di Jakarta, lalu disusul di kota-kota lainnya di Indonesia. Mengutip penjelasan Hesti, “Baca bareng adalah sebuah klub buku senyap yang ingin menjadi supporting group untuk mereka yang masih malu-malu untuk membaca buku di ruang publik. Untuk mereka yang takut dihakimi hanya karena format atau genre bacaan. Untuk mereka yang mungkin saja sepertiku, senang ditemani jika sedang membaca buku.”

Tertarik dengan asal-muasal ini, saya pun mengajak Hesti untuk bercerita lebih lanjut tentang komunitas dan kontribusi apa yang bisa kita semua lakukan jika ingin terlibat di dalamnya.

Sejak Kapan, Hes, merasa suka dengan kegiatan-Kegiatan komunitas buku?

“Gue suka bersosialisasi. Saat kuliah, gue sempat masuk ke himpunan mahasiswa di program studi, tapi ngerasa kurang berkembang dan akhirnya mencoba keluar dari kampus dan ikut macam-macam organisasi di Surabaya. Dari situ jadi kenal dengan banyak orang karena nggak dari satu kampus aja. Dari tukar ide dengan berbagai orang di situ jadi ketahuan kalau oh gue tuh beneran suka dengan ruang diskusi yang berhubungan dengan buku. Karena tiap ada bedah buku, pasti gue sempatkan datang, walaupun saat itu genrenya belum tahu. Ketemu orang-orang di sana, dan berkenalan dengan orang baru. Dari situ udah merasa cocok dengan kegiatannya, dan makin kelihatan suka pas gue pindah kerja ke Jakarta. Di Jakarta, hampir setiap akhir pekan ada acara buku, yang kadang kita yang udah coba juga pasti tahu ya, sampai perlu ngatur jadwal mau maraton ke mana aja. Di acara-acara komunitas itu bisa ada yang tiba-tiba nyapa, atau karena duduknya sebelahan jadi ngobrol. Dari situ doang udah bisa menambah teman, dan mungkin akan ketemu lagi di acara buku lainnya.”

Dari mengikuti acara-Acara komunitas, sampai akhirnya bikin baca bareng. Apa yang jadi pemicunya, Hes?

“Mungkin kalau pernah lihat beberapa klub buku di media sosial, mereka seperti punya segmennya masing-masing. Bisa jadi memang fokus komunitasnya, atau kebetulan karena teman-teman anggotanya segmennya di situ, jadi secara nggak langsung seperti punya segmen tersendiri. Gue sempat merasa, kok nggak saling berkolaborasi? Akhirnya gue coba bikin Baca Bareng ini.

Baca Bareng X Nulis Bareng Tangerang. Hesti yang mana,hayo? :D

Baca Bareng X Nulis Bareng Tangerang. Hesti yang mana, hayo? :D

Ada beberapa teman yang sempat tanya ke gue, kok kegiatannya cuma baca buku aja, kenapa nggak ada diskusi, atau kenapa nggak ada bedah bukunya?

Kalau teman-teman mau bedah buku, teman-teman klub buku di Jakarta banyak banget. Tinggal ditemplokin aja satu-satu. Maksud gue, biar klub buku yang lain juga kebagian exposure dan teman teman yang ikut Baca Bareng juga punya pengalaman di klub buku yang berbeda, biar mainnya nggak cuma sama gue doang. Kalau bisa, main juga sama yang lain. Mungkin main ke Post Santa, ke Aksara Kemang, karena di sana banyak acara buku yang bisa diikuti.”

Catatan Griss:
Ini salah satu sisi Hesti yang membuat saya kagum. Berhasil membuat suatu komunitas (Baca Bareng), lalu di waktu yang sama, ikut memajukan komunitas lain, dan mendorong orang-orang untuk eksplor ke tempat lain.

Perbedaan yang Paling terasa antara Komunitas buku yang dulu dan yang sekarang?

“Yang paling kelihatan banget, mungkin ini karena pengaruh teknologi ya: Visual. Daya tarik pertama itu gambar, entah itu Twitter, Instagram, entah itu ditata flatlay, atau motion graphic. Kalau visual bagus, lebih gampang dapat targetnya, tanpa harus pakai embel-embel nama-nama terkenal, seperti Eka Kurniawan atau Leila Chudori misalnya.

Kalau dulu, pertanyaan pertama kalau saat bedah buku biasanya, itu bukunya siapa, terbitnya kapan, atau moderatornya siapa? Dulu peran komunitas fandom juga besar banget dan bikin buku itu tetap hidup seperti komunitas Hunger Games dan Indo Harry Potter.”

Punya golden rules yang dipraktikkan saat membuat dan share konten di media sosial Nggak, Hes?

“Gue lebih ke arah 50:50. Setengah konten yang gue share mengikuti idealisme gue, dan setengahnya lagi mendengar suara followers. Ada beberapa orang yang sering nge-DM gue di Instagram dan Twitter, dan mostly gue melihat polanya. Misalnya, kemarin-kemarin itu kan gue share udah menyelesaikan 90 buku dalam waktu 6 bulan. Pada tanya, kok bisa sih baca cepat. Akhirnya gara-gara itu, gue bikin konten “rahasia di balik membaca cepat” setelah mendengar pertanyaan mereka, tapi balik lagi, gue punya beberapa golden rules saat berbagi informasi di media sosial.

Yang pertama, gue mengkampanyekan anti book shaming, jadi jangan sampai gue sendiri yang melakukan book shaming. Genre apa pun gue terbuka. Kalau gue belum menemukan titik nyaman di genre itu, ya mungkin aja belum waktunya.

Yang kedua, gue berusaha memposisikan diri sebagai orang yang netral. Gue welcome dengan semua macam tulisan dan format, entah itu audiobook, digital, dan cetak. Sebisa mungkin gue melihat bahwa orang itu bisa mengakses dalam berbagai macam bentuk bacaan.

Yang ketiga, saat bikin utas di Twitter, gue memastikan bahwa buku-buku yang gue rekomendasikan bisa diakses dengan gampang di Google Playbooks. Kalau misalnya cuma ada di Kindle, atau Kobo, gue akan kasih tahu informasinya sekaligus dengan link-nya.

Kacamata gue adalah librarian, jadi gue ingin memberikan informasi, dan mengadvokasi orang supaya mau membaca, dan karena itulah sebisa mungkin gue ingin memudahkan mereka. Sebelum gue bikin konten, gue riset. Selama ini karena gue pakai Kobo, gampang banget, tinggal cek di store, dan kebanyakan bukunya ada, tapi apakah di Google Playbooks juga ada? Ternyata nggak semua buku ada, dan gue akan memastikan seenggaknya hal itu dulu.”

Catatan Griss:
Saya merasakan sendiri se-welcome apa Hesti saat bertemu langsung dengannya. Pertama ketemu Hesti itu, saya sedang membawa buku Demian. Saat memperkenalkan diri dan buku yang ingin dibaca, saya menyebutkan alasan ingin baca Demian karena buku ini dibaca oleh salah satu anggota BTS, grup K-POP yang saya suka. Saat itu, mata saya berakhir ke Hesti, and she was listening attentively. Raut wajahnya itu nggak menyiratkan judgement sama sekali. Secuil heran aja nggak ada di matanya. Maklum, saya sudah kenyang terima pertanyaan orang yang terheran-heran, “Oh, lo suka K-POP? Suka BTS?” At that point, I made a mental note: She’s different.

Kalau pernah lihat Baca Bareng daring yang dilakukan Hesti di Twitter juga pasti merasakan juga sekomplet apa informasinya yang dia kasih. Bisa cek utas #BacaTWOTWBareng sebagai contohnya.

Sekarang kita sangat dimudahkan dengan berbagai kemudahan mengakses dan share informasi di media sosial. Saat ingin share konten yang dibuat orang lain, apa hal terpenting yang perlu diperhatikan?

“Yang pertama dan udah paling umum: Kredit. Kalau share konten orang lain, pasti gue akan ngomong, ini bukan tulisan gue. Kalau si empunya konten punya akun Instagram atau Twitter, gue akan mention akun dia. Kalau nggak gitu, lo akan dituduh plagiat, atau mencuri konten orang. Yang kedua,

saat share konten atau bikin review, gue selalu mencoba melihat dari sisi yang lain.

Sebisa mungkin gue tidak offending pihak yang lain. Misal, kayak kemarin gue selesai baca buku Lusifer Lusifer. Itu kan sangat kental dengan ritual agama teman-teman umat Krisitani. Karena gue Muslim, nggak mungkin dong gue bikin tulisan yang bikin orang ‘Apaan sih, ternyata orang-orang Kristen punya ritual kaya gini.” Kan nggak mungkin begitu. Gue pingin membuat orang lain nyaman dengan review-review gue. Kalaupun gue share review orang lain, gue akan memastikan dulu ada nggak ya sekiranya informasi yang bisa nggak berkenan di hati teman-teman yang berseberangan. Gue akan coba memperhalus itu, tanpa mengubah inti pesannya.”

miskonsepsi tentang acara komunitas buku apa yang paling sering didengar, Hes?

“Miskonsepsi yang sering terlihat ada di acara bedah buku. Biasanya teman-teman suka takut duluan karena dipikirnya orang yang datang itu harus sudah baca buku. Padahal… (sebenarnya ini rahasia dapur) bedah buku diadakan sebagai penarik supaya orang mau beli bukunya dan baca. Biasanya yang mengadakan bedah buku itu penerbit. Salah satu tujuannya ya jadi pembelian buku. Caranya dengan mengadakan bedah buku, atau meet and greet. Tidak berarti bahwa yang datang harus sudah baca bukunya, atau harus sudah beli bukunya.

Misalnya, gue tiba tiba datang ke acara bedah buku yang membahas tentang artificial intelligence. Gue nggak punya background di situ, dan nggak pernah baca bukunya, tapi tetap dateng. Penerbit pasti udah memikirkan tujuannya kan supaya orang beli, jadi gimana caranya supaya penyampaian di acara bedah buku ini dibuat seumum mungkin, nggak masuk ke ranah teknis, dan seramah mungkin: Terbuka dan hangat.

Kalau mau datang ke bedah buku, nggak usah merasa minder, nggak usah takut, datang aja. Karena isi acaranya akan bikin penasaran dengan bukunya, akan bikin kita terdorong untuk baca, dan mungkin akan terdorong untuk beli. Malah positifnya lagi bisa ketemu orang-orang baru!”

Buat yang baru mau ikut terlibat di komunitas buku, kontribusi termudah Apa yang bisa diberikan?

“Paling gampang sebenarnya adalah menyebarluaskan kesan positifnya. Sama seperti orang datang ke restoran, icip makanan, terus dia puas sama makanan dan servisnya. Katakanlah itu di media sosial. Bukan malah kebalikannya, komplainnya malah diomongin di luar, instead of coba ngomong baik-baik sama pengurus komunitasnya. Kalau bisa, kebaikannya yang diomongin di luar.”

“Gue percaya support with support.”

“Misalnya, lo bikin konten, dan menurut gue itu membangun dan bisa jadi bahan informasi teman-teman, ya gue senang-senang aja buat nge-share. Kayak lo kemarin, Griss, bikin konten cara memilih bacaan non-fiksi. Oh itu berguna banget buat follower-follower gue yang suka nanya tentang cara baca buku non-fiksi. Gue bisa kasih link-nya aja. Menurut gue itu adalah tipikal-tipikal kontribusi yang paling gampang.”

“Sebarin yang positif lewat media sosial, biar orang lain tahu.”

“Kalau udah bisa ngasih yang positif, baru mungkin mulai ikut komitmen ke acara tertentu, siapa tahu lama-lama bisa jadi bagian di situ juga kan?”

Terakhir, Nih, Hes. Kenapa memilih sebutan Book Dragon daripada bookworm yang lebih umum dan dikenal orang banyak?

“Gue tahu sebutan book dragon ini dari Pinterest. Bookworm sering digambarkan seperti ulat yang kecil. Saat baca itu, ngerasa iya sih, kadang-kadang yang suka baca merasa dirinya nggak terlihat, nggak ada yang bisa dibanggakan. Padahal, kemampuan membaca dan punya minat baca itu sesuatu yang menyenangkan. Nggak apa-apa ditularkan melalui media sosial yang kita punya. Nggak apa-apa juga dikit-dikit habis baca buku kita post dan share. Itu adalah bentuk kita menularkan kegemaran membaca buku.”

“Kita, orang-orang yang suka baca buku, bukan bookworm, bukan makhluk yang kecil. Kita itu dragon, besar. Karena kita bisa melahap apa pun yang kita baca.”


Untuk kalian yang ingin membaca ulasan, utas, dan informasi yang sering Hesti bagikan di media sosial, bisa follow Hesti di: