Membayangkan Hidup Tanpa Buku

Membayangkan yang Tidak-Tidak.jpg

Andai nggak ada buku di dunia, bakal gimana ya? Lo bakal ngapain?

Untuk tema tulisan minggu ini Sintia mengajak saya dan Hesti berandai-andai.

Saya pun jadi mengais-ngais ingatan.

Yang saya ingat, sedari kecil, saya tertarik dengan huruf dan kata-kata. Ketertarikan itu yang ditangkap mama, dan karenanya saya diajarkan membaca bahkan sebelum masuk ke bangku TK.

Begitu bisa membaca, saya merasa seperti punya super power untuk mengakses berbagai macam ilmu (dari buku pelajaran), dan hiburan (dari buku cerita).

Andai nggak ada buku, berarti cara belajar sekaligus cara saya mendapatkan hiburan pun mungkin akan berbeda. Kalau dibayangkan, sulit sekali mencari alternatif lainnya.

Belajar lewat video hanya akan bisa kalau kemajuan teknologi sudah datang sewaktu saya masih TK. Belajar dari guru secara langsung ya hanya bisa kalau jumlah gurunya banyak, dan mungkin metode latihan dari mengerjakan PR tertulis pun harus berubah dan nggak ada buku pelajaran yang jadi panduan di rumah. Aneh sekali ya? Lagi-lagi, sulit mencari alternatifnya.

Andai nggak ada buku, mungkin keinginan untuk dibelikan buku cerita akan beralih ke kaset cerita (zaman saya kecil, banyak kaset cerita yang tersedia). Saat era digital datang, mungkin saja mendengarkan podcast bisa jadi pilihan pertama yang saya pilih.

Andai nggak ada buku, mungkin beberapa manfaat membaca buku ini harus saya cari dari medium lain. Salah satunya, saya pasti jadi nggak bisa menikmati serunya berdialog dan membahas satu buku bersama teman-teman pembaca lainnya. Mungkin dengan absennya klub buku, membuat saya tertarik untuk mencoba klub-klub lain yang sebelumnya nggak pernah terpikirkan untuk dilirik? Mungkin saya makin jor-joran buat ikut klub journaling dan gabung ke berbagai ARMY fanbase.

Andai nggak ada buku, saya mungkin akan kelimpungan mencari aktivitas yang tenang dan nggak meribetkan diri sendiri. Kalau segala sesuatu harus ada audionya, kayaknya saya bakal pusing karena dibombardir suara dalam jangka waktu lama. Kalau untuk mendapatkan informasi harus menonton video, kayaknya saya akan gemas sendiri karena jadi menggantungkan hidup pada storage capacity, atau internet. Lain sekali rasanya dengan membuka buku, entah fisik atau elektronik, karena satunya nggak bergantung pada gadget, dan satunya nggak memakan storage banyak.

Andai nggak ada buku, apa yang diketahui—dari generasi atau wilayah yang berbeda—akan sulit, bahkan mustahil bisa menjangkau orang lain. Misalnya, bagaimana saya tahu kalau di Amerika ada Dan Ariely, dan bagaimana saya bisa mengakses Predictably Irrational kalau bukunya nggak ada?

Bisa jadi begitu masuk teknologi, karena nggak ada buku, model artikel premium/berbayar bisa saja booming lebih dulu. Membaca buku, mungkin saja sensasinya berubah menjadi baca artikel bersambung atau cerbung.

Dulu, menyebarkan informasi dari mulut ke mulut tentu bisa, tapi isinya apakah “seakurat” buku? Tentu tidak. Salin-menyalin teks ribuan tahun yang lalu saja bahkan bisa dipertanyakan kebenaran serta kualitas isinya, apalagi kalau nggak ada medium untuk mengabadikan dan menyebarkan pesannya?

Kalau berandai-andai sekarang, kita memang sudah dimudahkan dengan adanya video, artikel, dan rekaman suara. Namun, buku sudah saya anggap punya posisi penting yang membantu secara personal, juga profesional. Dan kalau sudah merasakan enaknya baca buku, hem, entahlah, sulit membayangkan hidup tanpa adanya buku.

Seperti yang sering kita baca: Buku adalah jendela dunia. Dan saya meyakini itu. Saya jadi teringat juga dengan cerita Kartini yang terbakar semangatnya karena menemukan berbagai macam pemantik berkat membaca, dan buku adalah satunya. Mulai dari Kartini, sampai Presiden Soekarno, BJ Habibie, bahkan pendiri-pendiri penerbit buku masa kini yang jadi perantara untuk memperkenalkan karya-karya hebat sampai bisa bertemu dengan para pembacanya. Andai nggak ada buku, entah bagaimana hidup kita ini. Jangankan punya cita-cita jadi negara maju, negara berkembang mungkin saja akan jadi negara terbelakang tanpa buku-buku yang menginspirasi para pemimpin dan pejuangnya puluhan tahun lalu.

Membayangkannya saja sudah terasa berat.
Untung saja situasi ini hanya berandai-andai, ya.