Book Buying Ban, Realistiskah?

Book Buying Ban atau Mindful Spending?.jpg

Saat melihat jumlah buku yang dipunya tapi belum terbaca, tahun lalu saya pernah menerapkan book buying ban untuk diri sendiri. Ada yang nggak boleh beli buku selama satu bulan, ada juga yang tamatkan lima baru boleh beli satu. Apakah berjalan dengan mulus? Tentu tidak. Hahaha. Beli buku ya lanjut terus.

Semakin saya menyerap berbagai macam informasi tentang behavioral economics dan behavioral science, semakin jelas juga di mana ngaconya saya. Sekalian di post ini saya kenalkan beberapa istilahnya, ya. Semua kutipan yang ada di tulisan saya ambil dari buku Dollars and Sense yang baru selesai dibaca (salah satu penulisnya Dan Ariely yang bikin Predictably Irrational). Kalau perilaku irasional ini jelas ada namanya, biasanya akan lebih mudah diingat, dan semoga bisa sama-sama makin aware dan niat bikin siasat saat menghadapi persimpangan “beli atau nggak”.

Why do we have such a hard time with self-control? It’s because we tend to value certain things right now in the present much more highly than we value them in the future.
— Dan Ariely, Jeff Kreisler (Dollars and Sense)

Kalau ditelusuri, akar masalahnya adalah nggak bisa mengontrol diri.

Tahu nggak kalau belanja berlebihan nggak baik? Tahu dong.

Tahu nggak uang yang dipakai belanja sebenarnya bisa ditabung dan diinvestasikan? Tahu juga dong.

Kok ya masih belanjanya nggak pakai rem?

Yak, itulah yang namanya manusia saudari-saudara. Maunya rasional, tapi malah sering irasional. Welcome to the homo irrationalis world.

Isi kepala: Apa yang bisa gue beli sekarang? Apa yang bisa bikin gue “happy” sekarang?

Bukannya: Ini uangnya bisa buat top-up investasi nih.

“It’s easy to feel good now. It’s hard to feel like we might not feel good later.”

Apa aja yang sering bikin kalap belanja?

Ada beberapa penyebab yang sering bikin saya kepeleset, juga sering saya lihat bikin orang lain kepeleset. Ayo kita cek sama-sama.

1. Buat saya, penyebab kalap yang paling utama adalah diskon untuk buku-buku yang sudah ada di wishlist. Buat buku yang nggak diincar saya tydac peduli walau lagi didiskon gede-gedean, tapi untuk buku yang ditaruh di wishlist itu lain cerita. Biasanya begitu tahu buku di dalam wishlist kena diskon, saya langsung klik beli. Mikirnya: Mumpung murah. Lumayan, untung sekian puluh ribu jadinya. Ehh, dari buku saya merasa tertampar bolak-balik dengan beberapa kalimat ini:

“When we see a sale, we shouldn’t consider what the price used to be or how much we’re saving. Rather, we should consider what we’re actually going to spend. Buying a $60 shirt marked down from $100 isn’t ‘saving $40’; it is ‘spending $60.’” Ingat-ingat supaya ndak sesat berpikir, ya. Beli buku yang tadinya 200 ribu kena diskon jadi 100 ribu bukannya untung 100 ribu, tapi saya jadi keluar duit 100 ribu.

“…we use relative value to compare the current price of an item to the amount it used to cost before the sale (or was said to cost) as a way to determine its value. This is how relativity confounds us.”

“Just looking at a sale price next to a ‘regular’ price gave them some indication that they were making a smart decision. But they weren’t.”

Ouch. Ouch. And ouch.

2. Mengikuti apa kata orang-orang. Banyak yang bilang buku X bagus, jadi merasa butuh. Banyak yang nge-post buku X di Instagram, jadi merasa perlu beli. That’s herding. Herding is the idea that we will go with the crowd, that we assume something is good or bad based upon other people’s behavior. If other people like it, or review it well, or beg to see it, do it, or pay for it, we’ll be convinced it’s good. We assume something is of high value because others appear to value it highly.”

3. Terbiasa membeli buku dalam kuantitas yang banyak. My mistake was I followed that number as my anchor.

“We are all influenced by anchors, all the time, usually without knowing it.”

“Anchoring is about trusting ourselves, because once an anchor enters our consciousness and becomes something we accept, we instinctively believe that it must be relevant, informed, and well reasoned.”

“From time to time, let’s stop and question our long-term habits. Those of us who do not learn from our own spending histories are doomed to repeat them. We should ask if a latte is really worth $4 to us, or if a cable bundle is worth $140 per month, or if a gym membership is worth fighting for parking just to look at our phone while trudging on a treadmill for an hour.” in my case, I should’ve asked if 15+ books a month was really worth my time.

Walau begitu, saya nggak mau menerapkan book buying ban lagi.

Knowing myself, I know there’s a conflicting parts inside of me. Di satu sisi, buat saya, membaca buku adalah metode belajar dan hiburan yang menyenangkan. Dari buku, saya bisa menambah berbagai macam pemahaman, menambah “modal” untuk mempertajam skill, dan juga memberi makan rasa ingin tahu yang nggak ada habisnya. Belum lagi dari buku saya bisa kenal dan bertemu dengan banyak teman baru.

Namun, di sisi lain, saya juga percaya kalau spending habit yang berlebihan ini pun perlu sedikit diubah. Nggak perlu transformasi drastis 180 derajat, tapi seenggaknya ada beberapa rules dan pertanyaan yang sekarang sudah otomatis diputar ulang di dalam pikiran sebelum saya membeli buku.

  • Apakah saya penasaran dengan topik buku ini?
    Ini syarat mutlak yang cukup membantu untuk menyeleksi buku yang akan dibeli. Saya sudah melatih diri untuk hanya membeli dan membaca buku yang isinya bisa memancing rasa penasaran dan rasa ingin tahu saya. Nggak lagi-lagi deh beli buku karena ikut-ikutan. I’ve learned my lesson. Buku yang dibeli karena ikut-ikutan, in my case, berujung dianggurin dan dibuka hanya sampai daftar isi.

  • Apakah buku ini akan segera saya baca?
    Pertanyaan ini masih nyambung dengan pertanyaan sebelumnya. Kalau saya penasaran banget, biasanya buku lain akan saya geser dan mendahulukan yang paling bikin penasaran. Tapi kalau dari buku yang sudah dipunya ada yang lebih memancing rasa penasaran, berarti buku sedang diincar ini kalau nggak dibeli sekarang pun nggak apa-apa. Toh kalau dibeli pun akan ngantri juga nunggu giliran dibaca.

  • Apakah saya sudah membaca beberapa review bukunya?
    Saya doyan baca review buku, dan ini juga jadi salah satu faktor penentu apakah jadi beli atau nggak. Biasanya, saya akan cari review buku di Amazon dan Goodreads, lihat yang memuja-muji bukunya, dan lihat juga yang kasih rate 1-3 bintang biar berimbang. Kalau saat membaca review 1-3 bintang dan saya masih penasaran, biasanya bakal berujung dibeli.

  • Apakah transaksi ini sudah melebih limit bujet yang saya set?
    Kalau negara punya APBN, saya punya APBB (Anggaran Pendapatan dan Belanja Buku). Fungsi perencanaan, pengawasan, dan alokasinya harus terlaksana dengan baik, dan supaya nggak jadi anchor, jumlahnya harus diganti tiap bulan. WKWK. Satu lagi yang membantu: Biasakan untuk pay yourself first. Begitu dapat gaji/income, langsung alokasikan sekian persen untuk tabungan dan investasi biar aman tentram uang yang itu nggak bisa diganggu gugat dengan keinginan duniawi macam ini :p

Sejauh ini, empat pertanyaan di atas lebih manjur daripada melarang diri nggak belanja, tapi ujung-ujungnya bablas juga.

Buat saya, mindful spending lebih realistis daripada book buying ban. Menggunakan uang dengan intensi yang jelas, yang sesuai dengan tujuan dan value yang saya pegang terasa lebih asyik daripada melarang diri untuk nggak membeli buku sama sekali.

How about you?

Life is meant to be enjoyed. But pick your spots and question those things that are most likely to cause long-term harm. Every so often, consider how much pleasure, how much value, we may truly get out of a purchase. Think about what else we could spend that money on and why we’re making this choice. If we recognize what we’re doing and why, over time, slowly but surely, we’ll get the ability to change our decision-making for the better.
— Dan Ariely, Jeff Kreisler (Dollars and Sense)