Tempat yang Istimewa

Kalau pergi liburan bareng keluarga, biasanya ada dua kemungkinan yang akan terjadi: Mencoba tempat baru, atau mengunjungi kembali tempat yang pernah disinggahi. Pilihan pertama biasanya diincar karena pengaruh dari apa yang diinformasikan kerabat, apa yang dibaca, dan apa yang ditonton. Pilihan terakhir sering juga dilakukan karena saat mendedikasikan waktu untuk berlibur, suara terbanyak cenderung mencari yang pasti (pasti enak, pasti nyaman, pasti tahu jalan). Terlepas dari apa pilihannya, tempat baru maupun yang tidak, selalu berhasil meninggalkan kesan spesial, yang khas dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Inget nggak, waktu ke Pangandaran, hotelnya dekat sekali dengan pantai? Tiap pagi sehabis sarapan, langsung jalan bentar dan langsung main air. Kamu waktu ditato temporer di sana juga langsung alergi sampai gatal merah semua kulitnya.

Waktu ke Ubud, xxxxx ngajak makan iga bakar di Naughty’s Nuri. Katanya enak, dan dia semangat mempromosikan tempat itu seakan-akan dialah sales marketing-nya. Eh ya beneran enak, dong! Yang merekomendasikan senang, yang direkomendasikan pun senang!

Nggak lagi-lagi ke Korea pas winter. Sebagai orang Indonesia, nyicipin -3 derajat celcius boro-boro mau jadi bolang yang sigap dan gesit ke sana-sini. Keluar bus langsung beku rasanya.

Tempat sering saya asosiasikan dengan memori. Kapan pergi ke sana, dengan siapa, naik apa, kenapa memilih tempat itu di antara kandidat lainnya, makan apa di sana, ada hiburan seru nggak di sekitar tempat menginap, dan seperti apa cuaca saat ke sana. Saat menikmati cerita fiksi, saya pun melakukan pendekatan yang kurang lebih sama. Terutama saat tempat dalam cerita jadi salah satu elemen yang membuat ceritanya istimewa. Ada tiga tempat yang meninggalkan kesan spesial buat saya, yang sampai detik tulisan ini dibuat pun masih bikin saya senyam-senyum saking sukanya.

1. Toko Kelontong Namiya

Ibarat sering nongkrong di kantin sekolah karena penjaga kantinnya asyik diajak ngobrol, Toko Kelontong Namiya punya vibe yang mirip. Serupa, tapi tak sama. Bikin nyaman karena ada sosok yang mau mendengarkan, walaupun bentuknya dalam tulisan.

Toko Kelontong Namiya bukan toko kelontong sembarangan karena orang bisa “konsul” atau seenggaknya bercerita saat nggak tahu harus bilang ke siapa, atau ke mana. Kalau ada masalah, tulis surat, masukkan ke lubang surat di toko, lalu tunggu saja. Nanti akan menerima balasan.

Tempat yang dari luar terlihat sederhana, atau bahkan nggak kelihatan apa istimewanya, tapi menyimpan unsur magis yang membantu banyak orang. Bantuan dari toko ini muncul dalam bentuk perhatian atas cerita dari orang-orang yang sedang membutuhkan. Orang yang ke toko tidak mengharapkan materi, tapi membutuhkan seseorang yang mau membaca dan menanggapi cerita mereka. Buat yang belum baca novel ini, coba deh, after effect-nya sungguh bikin adem hati.

Memori lain dari Kejaiban Toko Kelontong Namiya: Kental dengan unsur keluarga, manusia butuh validasi dari manusia lainnya, buku Keigo Higashino pertama yang saya baca, memilih ini karena Jin (BTS) terlihat membaca bukunya juga, dan jadi buku pilihan untuk diobrolkan bareng pembaca lainnya pada Desember 2020.

2. Hotel Del Luna

Agak kurang komplet kalau tempat yang ada di drakor nggak kesebut juga, ya. Hahaha.

Saya penyuka drakor yang latar tempatnya realistis. Semisal ya memang di kota atau desa yang riil; yang pakai rumah, kantor, atau pasar yang dibuat seperti riil juga. Kalau melibatkan unsur fantasi, saya lebih memilih serial atau tontonan Barat daripada Korea, tapi lain cerita dengan Hotel del Luna. Pertama terpikat dengan drakor ini karena penasaran dengan acting IU. Lalu makin penasaran lagi setelah membaca keterangan tentang hotelnya: Hotel ini nggak bisa dilihat manusia biasa, dan ditujukan untuk hantu-hantu yang punya unfinished business.

Coba deh intip satu-dua episode biar kelihatan betapa bagusnya hotel ini. Penampakan luar dan interior dalamnya beda banget! Pakai ada bar-nya pula di dalam hotel biar hantu-hantu bisa mican.

Saat menonton Hotel del Luna, saya seperti diperlihatkan kalau manusia memang punya keinginan yang begitu besar untuk mendapatkan closure. Dapat akhir yang pasti, terlepas itu mau enak, atau tidak. Kadang, mengupayakan segala cara untuk mendapatkannya berbuah manis, tapi bisa juga berujung sebaliknya saat akhir yang ditemukan tidak sesuai ekspektasi. That’s the gamble that lot of us willing to take, I guess.

Memori lain dari Hotel del Luna: Sangat terpesona dengan fashion, makeup, dan hairstyle IU (naksir banget asli). Dibuat kaget beberapa kali karena ada momen hantu yang muncul dibarengi dengan sound effect jahanam yang bikin jantung berasa geser satu senti. Efek ceritanya komplet, bikin ketawa, tegang, sampai mewek juga iya. Makin kagum dengan IU yang multitalenta.


3. HARRY POTTER’s WORLD

Abis jajan di Hogsmeade, lalu jalan-jalan di sekitar kastil :p

Abis jajan di Hogsmeade, lalu jalan-jalan di sekitar kastil :p

Saya angkatan yang ketemu Harry Potter sejak kecil, dan ikut tumbuh besar dengan cerita-ceritanya. Banyak sekali tempat di dunia Harry Potter yang saya suka dan rasanya ingin dikunjungi kalau ada di dunia nyata. Kesampaian, walau yang dikunjungi adalah versi Universal Studios-nya. Gitu aja udah girang, apalagi main ke tempat shooting-nya, ya.

Incaran pertama jelas kastil Hogwarts. Pertama kali nonton film Harry Potter, saya takjub bukan main melihat visualnya. Mulai dari dining hall yang luar biasa besarnya, tangga-tangga yang bisa gonta-ganti arah dan lepas-pasang sendiri, lukisan yang isinya bisa pindah-pindah ke bingkai lain, sampai ruangan-ruangan tersembunyi di dalam kastil.

Membayangkan bisa belanja ke Diagon Alley juga jadi terlintas di kepala saat membaca dan menonton cerita Harry Potter. Melihat benda-benda yang nggak ada di dunia muggle bikin saya terheran-heran. Ya paham benar ini fiksi, tapi melihat ada yang “melahirkannya” ke dalam tulisan sebagai cerita solid, juga menonton versi film-nya bikin saya makin ternganga. Membayangkan bisa rekreasi main ke Hogsmeade, masuk lihat-lihat ke semua toko yang ada di desa itu juga seru. Nongkrong santai selesai dapat barang yang diincar sambil pesan minuman yang rasanya juga ajaib. Bahkan, saya juga mau deh main ke The Burrow, rumah keluarga Weasley dan menawarkan diri jadi parasit untuk nebeng ngerayain Natal di situ (sambil bantuin Tante Molly tentunya).

Memori lain dari dunia Harry Potter: Dulu kepengin banget rasanya dites pakai sorting hat kayak murid-murid Hogwarts yang lain (coba share juga dong, masuk ke asrama mana? I’m a Slytherin lols). Dengan polosnya pertama kali beli Harry Potter langsung ke buku kedua karena lebih tebal (kalau ada yang tebal, kenapa pilih yang tipis? zzz), lalu saat dibaca ya jelas bingung. Pernah juga dengan rela mengeluarkan uang tabungan demi beli majalah yang dulu terasa mahal sekali supaya bisa dapat bonus tongkat sihirnya.


Bikin blog post ini secara nggak langsung bikin saya jadi kangen dengan dunia fantasi. Kalian ada rekomendasi buku, film, serial, drakor yang punya unsur fantasi, atau bumbu magiskah? Share ya kalau ada. Siapa tahu ada juga teman lain yang sedang cari :D