Curhat ke Jurnal: Apa Manfaatnya, dan Apakah Tulisannya Perlu Dibaca Ulang?

Kak aku penasaran hahaha jurnal yg udah ka gris tulis sebelum2nya masih suka dibaca ulang ga sama ka gris sendiri?

Pertanyaan yang muncul di DM Instagram ini yang jadi landasan saya untuk menulit post ini. Beberapa teman dan kenalan juga melempar pertanyaan yang serupa pada saya saat mereka tertarik untuk mencoba journaling.

Karena memang wajar, saat membaca ulang tulisan sendiri bisa jadi rasanya campur aduk. Antara geli, heran, sampai takjub dan mengenaskan bisa jadi satu. Kok bisa-bisanya lo dulu mau aja begitu? Atau, dulu pernah punya mimpi begitu, tapi sekarang ternyata banting setir.

Tahu dong, ya. Yang pernah jajal nulis jurnal atau diari, walau hanya beberapa kali pasti akrab dengan betapa “unik” isinya.

Jurnal sendiri bisa difungsikan untuk berbagai macam hal. Bisa jadi memory journal, reading journal, ideas journal, tapi supaya fokus pembahasan ini nggak melebar, saya mau menyoroti jurnal sebagai tempat curhat. Jurnal curhat yang punya image menggelikan (atau “menyeramkan”?) saat dibaca ulang.

Kok curhatnya malah ke jurnal?

manusia punya limit sejauh dan selama apa mendengarkan curhatan

Punya pengalaman nggak enak rasanya agak nyiksa ya kalau dipendam sendiri. Itu jugalah yang bikin manusia butuh mengungkapkan, meluapkan, dan menceritakan pengalaman dan mengekspresikan emosinya.

Yang belum menemukan orang yang bisa menampung curhatan kita, nggak jarang malah cerita di media sosial supaya merasa didengarkan dan divalidasi emosinya. Curhat melalui status Facebook, Instagram Story, Instagram Post, atau bikin thread di Twitter. Yang punya orang-orang andalan bisa menceritakannya pada orang-orang terdekat. Ke orang tua, kakak, adik, sepupu, sahabat, pasangan, atau bahkan rekan kerja di kantor.

Kalau ngomongin curhat, nggak ada aturan bakunya. Nggak bisa dibikin hitam putih, kalau curhat, mesti ikutin 10 steps ini dulu atau semacamnya, karena kondisi kita (anggap kita yang butuh cerita dan didengarkan) pasti beda. Kondisi orang yang kita tuju untuk mendengarkan cerita kita juga pasti beda.

Saya nggak bisa dengan mudahnya membaca kondisi mental seseorang, jadi menurut saya dikit-dikit curhat itu tricky and risky. Saya nggak tahu teman saya kerjaannya lagi menumpuk banyak seperti apa, dan apakah bisa meladeni keluh kesah saya saat itu juga? Saya juga nggak tahu kondisi keluarganya aslinya sedang dalam state apa, dan kalau saya timpa dengan cerita ini dan cerita itu, gimana kalau cerita saya malah jadi trigger buat dia?

Kadang, saat mau curhat, saat sudah numpuk di ubun-ubun, saya juga suka lupa nanya. Nanya ke orang yang ingin saya ceritakan, apakah kondisinya lagi bisa menampung curhatan saya? Karena bisa jadi saya main cerita ke orang, kelar curhat sayanya jadi enteng, tapi orang yang saya ceritain malah yang ketiban “beban” dan gantian malah dia yang stres.

Semuanya bisa ditanya dan diobrolkan dulu memang. Saling cek dulu. Tapi balik lagi, saat seseorang lagi dalam kondisi emosional, lagi meletup-letup, dan butuh segera bercerita, mungkin sekali jadi lupa bertanya.

People feel compelled to talk to others about their negative experiences. But that wasn’t all. The more intense the emotion was, the more they wanted to talk about it. Additionally, they returned to talking about what had occurred more often, doing so repeatedly over the course of hours, days, weeks, and months, and sometimes even for the remainder of their lives.

Many of us have a limited threshold for how much venting we can listen to, even from the people we love, as well as how often we can tolerate this venting while not feeling listened to ourselves.

Ethan Kross (Chatter) - Baca ulasan buku saya di sini.

curhat ke jurnal karena bisa menampung cerita apa saja dan kapan saja

Lebih dari satu setengah tahun work from home, saya jadi punya kebiasaan untuk menaruh jurnal di meja kerja. Melakukan ini karena setiap kali ada dorongan untuk meluapkan sesuatu, dan setiap kali ada emosi yang mengganjal, langsung saya tulis di jurnal.

Enaknya ya saya bisa segera memindahkan berbagai macam pikiran dan perasaan yang memenuhi kepala dan hati ke atas kertas setiap kali diperlukan. Karena “menceritakannya” pada benda mati, saya bisa bebas melakukannya kapan pun dan mengisahkan apa pun.

Bukan berarti karena nulis curhat ke jurnal saya jadi nggak cerita apa-apa ke sesama manusia, ya. Nggak gitu juga. Saya tetap kok cerita ke manusia beneran, tapi karena kebanyakan sudah tertuang dan beberapa bahkan sudah ikut terurai kekusutan dan kebingungannya saat menulis, saat cerita ke teman/saudara/keluarga, kondisi saya sudah lebih tenang dan nggak lagi seperti ticking bomb.

Baca juga: Journaling Setiap Hari, Apa Aja yang Ditulis?

Perkara waktu, kapan nulis jurnalnya, tiap orang pasti beda-beda. Yang suka bangun pagi, bisa coba morning pages yang dipelopori oleh Julia Cameron.

Put simply, the morning pages are three pages of longhand writing, strictly stream-of-consciousness.

Pages are meant to be, simply, the act of moving the hand across the page and writing down whatever comes to mind. Nothing is too petty, too silly, too stupid, or too weird to be included.

Julia Cameron (The Artist's Way).

Alokasikan waktu di pagi hari untuk menulis di jurnal. Bebas, bisa nulis apa aja. Nggak usah khawatir tulisan kayak cakar ayam, nggak usah khawatir sama grammar atau pemilihan katanya sudah sesuai KBBI atau belum. Jurnal curhat sifatnya buat menampung, bukan buat dikompetisikan ke badan bahasa, jadi ya udah sih, santai aja. Nggak usah nge-judge curhatan diri sendiri.

Yang punya privilege kerja dari rumah, dan punya private space sendiri, nulis jurnal curhat ini bisa kapan aja saat dibutuhkan. Tinggal buka buku, tulis dulu satu atau beberapa paragraf sampai enteng, lalu move on dan lanjut menjalani aktivitas seperti biasa.

Apa manfaat mencurahkan semuanya di jurnal?

Saya pribadi merasa bisa berpikir dengan lebih jernih, mudah mengambil keputusan, dan bisa mengatur fokus saat semua “beban” yang ada di pikiran dan hati sudah dipindahkan ke jurnal.

Kalau dianalogikan, jurnal itu seperti rak penyimpanan untuk menampung barang-barang yang nggak akan kita pakai di keseharian. Misalnya, saya mau liburan ke Bali. Mana mungkin saya bisa liburan dengan nyaman dan tenang, kalau satu koper yang saya mau bawa diisi dengan berbagai macam baju yang sebenarnya nggak cocok dipakai untuk liburan? Holiday outfit yang benar-benar dibutuhkan dan mau dipakai jadi nggak ada tempat dong kalau semua baju dibawa?

Itulah gunanya rak penyimpanan. Taruh benda-benda yang jarang dipakai di situ, supaya benda-benda yang memang dibutuhkan bisa dapat tempat. Taruh pikiran dan emosi yang mengganjal di jurnal, supaya kapasitas otak dan hati bisa dipergunakan untuk situasi yang ada di depan mata, sekaligus bisa menjalankan tanggung jawab yang dipunya.

Apakah tulisan di jurnal perlu dibaca lagi?

Kalau saya merasa nggak perlu, apalagi kalau jurnalnya memang didekasikan untuk mengentengkan isi pikiran dan hati. Saya biasanya kasih jeda beberapa bulan, satu tahun, bahkan lebih lama dari itu untuk kembali membaca isinya. Beberapa bahkan ada juga yang belum dibaca ulang sampai sekarang.

Buat saya, fungsi utama jurnal curhat ini memang hanya untuk meringankan beban. Mirip seperti rak penyimpanan yang ada di gudang, masa iya sih saya ke gudang tiap hari buat nengokin barang-barangnya, buat megang dan memandangi barang-barang di gudang satu-satu? Kan nggak gitu ya. Kalau pas teringat oh kayaknya pernah nyimpan barang X deh di gudang, masih ada nggak ya? Nah baru deh saya cari dan ambil barangnya. Begitu juga dengan cerita yang ada di jurnal. Saya nggak merasa perlu membacanya ulang, sampai muncul momen kurang kerjaan yang bikin saya teringat dan mau membacanya lagi. Untuk beberapa hal yang ingin saya ingat, kasih pembeda seperti highlight key takeways-nya, atau lingkari next actions yang bisa dicoba setelah terjadi peristiwa tertentu. Jadi kalau sampai dibaca ulang pun mata udah diarahkan fokus baca yang mana.

Kalau sampai dibaca ulang semua pun, ya maklumi diri sendiri saja. Kalau inginnya baca refleksi akan self-discovery dan esai yang ciamik, ya cari sumber lain, cari buku, mampir ke blog orang, ke media langganan, jangan ke jurnal yang sifatnya penampungan cerita-cerita nganu. Demikian :)




Buat yang baca sampai akhir, terima kasih ya! Share juga dong, udah pernah coba curhat ke jurnal belum? Gimana rasanya? :D